-->

Mandailing


1. Bangsa Mandailing

Suku Mandailing atau kelompok etnis (ethnic group)
Mandailing merupakan salah satu dari sekian ratus suku bangsa penduduk
asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku tersebut secara
turun-temurun bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi
Sumatra Utara.

Menurut tradisinya, orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano
Rura Mandailing yang artinya “tanah lembah Mandailing”. Berdasarkan
tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian,
yang masing-masing dinamakan Mandailiang Godang (Mandailing Besar),
berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada di
bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat.


Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal.
Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup
sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi,
kulit manis, dan sebagainya.


Sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda, penduduk di kawasan Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga (clan)
Nasution, sedangkan penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh
raja-raja dari marga Lubis. Pada masa itu di kedua kawasan tersebut
terdapat banyak kerajaan tradisional yang kecil-kecil berupa komunitas
yang dinamakan Huta atau Banua. Masing-masing memunyai kesatuan teritorial dan pemerintahan yang otonom.


Keberadaan masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis
diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing
memunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya
berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa lain. Dan juga karena
warga masyarkat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan
kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari
warga masyarakat yang lain.


Secara historis, eksistensi atau keberadaan suku bangsa Mandailing
didukung oleh kenyataan disebut nama Mandailing dalam pupuh atau syair
ke-13 kitab Nagarakretagama yang ditulis
oleh Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14). Dalam hal ini, Said
(tanpa tahun) antara lain mengemukakan bahwa “teks sair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf Latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagian sebagai berikut.


Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni

ri Malayu/ ning Jambi mwang Palembang i Teba



len Darmmacraya tumut/ Kandis, Kahwas Manangkabwa

ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/


Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak



mwang i Barat


Seperti terlihat pada teks tersebut, ekspansi Majapahit ke Malaya
(Sumatra) merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru,
Mandahiling, jelasnya Mandailing. Teks tersebut memperhatikan bahwa nama
Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksud tidak lain
dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan. Demikian
dikemukakan oleh Said.



2. Budaya Mandailing


2.1. Sistem Sosial, Adat Istiadat, dan Pemerintahan

Meski pun sudah banyak terjadi perubahan, tapi sampai saat ini, dalam
struktur masyarakat Mandailing yang patrilineal terdapat
kelompok-kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah (blood ties) dan hubungan perkawinan (affinial ties). Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah, oleh orang Mandailing dinamakan marga (clan). Hubungan kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing dalam satu marga disebut kahanggi (abang-adik).


Suku bangsa atau masyarakat Mandailing terdiri dari banyak marga atau
kelompok kerabat satu keturunan yang masing-masing punya nama sendiri.
Dan di antaranya yang terbesar ialah marga Lubis dan marga Nasution.
Setiap marga juga punya tokoh nenek moyangnya (ancestor) sendiri. Tokoh nenek moyang orang-orang Mandailing marga Lubis ialah seorang yang bernama Namora Pande Bosi. Orang-orang Mandailing marga Nasution punya tokoh nenek moyang yang bernama Si Baroar. Demikianlah menurut lagenda atau mitos yang diyakini oleh masyarakat Mandailing.


Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan (affinal ties) terdiri dari dua bagian, yaitu kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver) yang dinamakan mora dan kelompok kerabat penerima anak gadis (bride receiver) yang dinamakan anak boru.

Dengan demikian dalam masyarakat Mandailing terdapat tiga kelompok kekerabatan (kingrous), yaitu mora, kahanggi (orang-orang yang semarga atau yang punya hubungan kekerabatan berabang-adik), dan anak boru.
Ketiga kelompok kekerabatan tersebut digunakan oleh masyarakat
Mandailing sebagai komponen tumpuan untuk sistem sosialnya yang
dinamakan Dalian Natolu (tumpuan yang
tiga). Sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu itu berfungsi sebagai
mekanisme untuk melaksanakan adat dalam kehidupan masyarakat Mandailing.
Perujudan pelaksanaan adat yang menggunakan sistem sosial Dalian Natolu
sebagai mekanisme dapat dilihat pada waktu penyelenggaraan upacara
adat. Dalam masyarakat Mandailing suatu upacara adat hanya dapat
diselengarakan jika didukung bersama oleh mora, kahanggi, dan anak boru
yang berfungsi sebagai tumpuan atau komponen sistem Dalian Natolu. Kalau
salah satu di antaranya tidak ikut mendukung, maka dengan sendirinya
upacara adat tidak boleh atau tidak dapat diselenggarakan.


Keadaan yang demikian itu menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam
kehidupan masyarakat Mandailing adat dan pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan dari sistem sosial Dalian Natolu. Oleh karena itu, adat
masyarakat Mandailing disebut adat Dalian Natolu. Dasar dari adat Dalian
Natolu sebagai pranata hidup masyarakat Mandailing ialah olong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban). Olong (cinta dan kasih sayang) antara sesama manusia melahirkan domu (keakraban) antara satu sama lain. Adanya domu (keakraban) antara manusia membuktikan bahwa mereka hidup dengan olong (cinta dan kasih sayang).


Untuk membuat olong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban)
menjelma atau terujud dalam kehidupan masyarakat Mandailing, diciptakan
adat yang dilandasi oleh patik (ketentuan-ketentuan dasar atau
komandemen). Adat diisi dengan uhum (kaidah-kaidah dan hukum). Dan dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat harus dijalankan menurut ugarai (tata
cara pelaksanaan adat) dengan menggunakan satu sistem sosial yang
dinamakan Dalian Natolu (Tumpuan Yang Tiga) sebagai mekanismenya.


Demikianlah keberadaannya adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat
Mandailing sejak pra-kolonial sampai sekarang. Dan untuk membuat
aktivitas kehidupan masyarakat berjalan teratur seperti yang dikehendaki
oleh adat sebagai penjelmaan olong (cinta dan kasih sayang), maka pada masa lalu di setiap huta terdapat
satu lembaga yang menjalankan pemerintahan. Dalam lembaga pemerintahan
tersebut duduk tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dengan dikepalai oleh seorang yang berstatus Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamasuk. Raja Panusunan Bulung merupakan kepada pemerintahan di Huta induk (mother village),
sedangkan Raja Pamusuk merupakan kepala pemerintahan di Huta yang
merupakan pengembangan dari suatu Huta induk. Satu Huta induk dengan
sejumlah Huta yang merupakan “anak” atau pengembangannya berada dalam
satu ikatan adat yang dinamakan janjian. Tapi masing-masing huta menjalankan pemerintahan secara otonom.


Dan pemerintahan dijalan secara demokratis; dalam arti segala sesuatu
yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dalam suatu huta hanya dapat
dilaksanakan setelah disetujui berdasarkan mufakat oleh para tokoh
Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan secara
representatif dari penduduk huta. Dan raja sebagai kepala pemerintahan
tidak punya wewenagn atau otoritas untuk berbuat sesuka hati dalam hal
pemerintahan tanpa persetujuan dari para tokoh Namora Natoras.


Sidang-sidang untuk urusan pemerintahan, sosial, dan pengadilan di satu huta diselenggarakan di Balai Adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang yang bangunannya terletak berdekatan dengan istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalom Magodang atau Bagas Godang.
Adanya bangunan istana raja atau Bagas Godang dan bangunan Sopo Godang
di satu tempat pemukiman, menandakan bahwa tempat pemukiman itu
merupakan satu huta atau banua yang berstatus sebagai kerajaan dengan
pemerintahan yang otonom.


Pada masa pemeritahan kolonial Belanda, pemerintahan tradisional
Mandailing yang semula dijalankan secara demokratis, sedikit demi
sedikit mulai kehilangan sifatnya yang demokratis, karena dengan
kekuasaannya yang kolonialistis para penguasa Belanda menjadikan
tokoh-tokoh Raja Panusunan Bulang dan Raja Pamusuk sebagai alat
pemerintah kolonial untuk menindas penduduk dengan pengutipan belasting
(pajak) dan pelaksanaan rodi (kerja paksa). Untuk itu penguasa kolonial
memberi mereka “gaji” dan memperbesarkan kekuasaan dan hak-hak mereka
dan mengangkat Raja Panusunan Bulung menjadi Kepala Kuria dan Raja
Pamusuk menjadi Kepala Kampung. Pada akhirnya raja-raja yang semual
tunduk kepada kedaulatan rakyat yang diwakili oleh tokoh-tokoh Namora
Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan, berubah menjadi raja-raja
feodalistis yang memaksakan kehendaknya kepada rakyat dengan
menggunakan dukungan pemerintah kolonial Belanda.



2.2. Sistem Religi

Masuknya penjajahan atau pemeritahan kolonial Belanda ke Mandailing
terjadi pada waktu Belanda sedang berperang dengan Kaum Paderi di
Minangkabau pada 1830-an. Sebelum Belanda masuk ke Mandailing, beberapa
tahun lamanya Kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai Mandailing.


Salah satu tujuan penting dari Kaum Paderi menguasai Mandailing ialah
untuk memperluaskan pengembangan agama Islam. Karena sebelum Kaum Paderi
memasuki dan akhirnya menguasai Mandailing, penduduknya menganut
animisme yang dinamakan pelebegu (memuja
roh nenek moyang). Tapi setelah Kaum Paderi menguasai seluruh
Mandailing, dengan cepat sekali hampir semua penduduknya menganut agama
Islam yang dikembangkan oleh Kaum Paderi. Sejalan dengan itu, segala
sesuatu yang berbau anismisme dengan cepat pula hilang atau dilenyapkan
dari kehidupan masyarakat Mandailing dan berganti dengan yang Islam. Dan
sampai saat ini orang-orang Mandailing terkenal sebagai pemeluk agama
Islam yang cukup taat.


Pada waktu Belanda sudah berhasil mengalahkan Kaum Paderi dan mulai
menduduki Mandailing, misionaris mulai mencoba menggembangkan agama
Nasrani di kalangan penduduk, tapi sama sekali tidak berhasil karena
penduduk di Mandailing sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Oleh
karena itu dari dahulu sampai sekarang agama Nasrani tidak berkembang di
Mandailing.


Ketika Belanda mulai memperkuat kedudukannya di Mandailing sejak
pertengahan tahun 1830-an, peperangan antara Kaum Paderi dan Belanda
masih terus berlangsung, termasuk di Mandailing. Karena kekuatan Belanda
lebih unggul, maka banyak di antara orang-orang Mandailing pengikut
Paderi yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk menghindari
penjajahan Belanda. Di antara mereka banyak yang pindah ke Malaya
(Malaysia sekarang) dan menetap turun-temurun di negeri ini sampai
sekarang.



2.3. Bahasa, Aksara, dan Sastra

Suku bangsa Mandailing mempunyai bahasa dan aksara sendiri. Perkembangan
peradaban masyarakat Mandailing di masa lalu telah menumbuhkan bahasa
Mandailing menjadi satu bahasa yang barangkali boleh dikatakan unik.
Karena bahasa Mandailing terdiri dari 5 ragam bahasa yang satu sama lain
berlaian kata-katanya dan konteks penggunaannya.



Kelima-ragam bahasa tersebut, dalam bahasa Mandailing masing-masing dinamakan:

(1) Hata somal, yaitu ragam bahasa yang digunakan terutama dalam percakapan sehari-harian.

(2) Hata andung, yaitu ragam bahasa yang
digunakan pada waktu meratapi jenazah. Selain itu digunakan pula oleh
pengantin perempuan untuk meratap pada waktu akan meninggalkan
keluarganya karena dibawa ke rumah suaminya. Di samping itu digunakan
pula untuk mengungkapkan (menuliskan) perasaan duka cita dan nasib
malang yang menimpa diri seseorang. Hata andung juga digunakan secara bercampur dengan hata somal untuk
pidato-pidato yang disampaikan dalam upacara adat. Sastra (lisan)
Mandailing juga banyak menggunakan hata andung. Oleh karena itu, ragam
bahasa tersebut pantas digolongkan sebagai ragam bahasa sastra.

(3) Hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa caci-maki.

(4) Hata sibaso, yaitu ragam bahasa yang
khusus digunakan dalam pengobatan tradisional, misalnya untuk mantra
dan jampi-jampi dan juga digunakan oleh Sibaso (shaman) pada waktu mengalami kesurupan (trance).

(5) Hata parkapur, yaitu ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan oleh orang-orang berada di hutan.


Selain dari kelima ragam bahasa tersebut, pada dahulu masyarakat Mandailing memiliki pula ragam bahasa yang dinamakan hata bulung-bulung (bahasa daun-daunan). Ragam bahasa tersebut dinamakan hata bulung-bulung karena
yang digunakan sebagai kata-katanya ialah daun tumbuh-tumbuhan. Pada
masa dahulu, ragam bahasa daun-daunan itu terutama digunakan oleh
muda-mudi untuk mengungkapkan isi hati mereka ketika dilanda oleh
percintaan.


Sayang sekali sebagian besar dari ragam bahasa yang sangat kaya itu
sudah hampir punah sama sekali karena orang-orang Mandailing tidak
membiasakan diri lagi untuk menggunakannya.

Selain memunyai bahasa sendiri, suku bangsa Mandailing juga mempunyai
aksara yang dinamakan surat tulak-tulak. Pada masa dahulu aksara
tersebut terutama digunakan untuk menuliskan ilmu pengobatan,
mantra-mantra, ilmu perbintangan (astronomi), dan andung-andung (ratapan) dalam kitab tradisional yang terbuat dari kulit kayu atau beberapa ruas bambu. Kitab tradisional tersebut dinamakan pustaha.


Suku bangsa Mandailing memiliki sastra tradisional terdiri dari prosa
dan puisi. Kebanyakan di antaranya berupa sastra lisan, tapi ada juga
yang tertulis, seperti andung-andung (ratapan) atau kisah penderitaan yang dituliskan pada ruas-ruas bambu.


Dalam tradisi sastra Mandailing terdapat dua macam prosa yang paling populer, yang masing-masing dinamakan turi-turian dan hobarna.
Turi-turian banyak berupa mite (mitos) dan legenda yang pada masa
dahulu dipandang sebagai cerita-cerita biasa (tidak dipandang sakral).
Pada masa dahulu turi-turian yang banyak menggunakan ragam bahasa sastra (hata andung) dituturkan oleh penutur cerita yang dinamakan parturi.


Puisi dalam sastra Mandailing dinamakan ende-ende.
Kebanyakan di antaranya berbentuk pantun atau syair. Sastra yang
dimiliki oleh suku bangsa Mandailing tidak terbatas pada sastra yang
bersifat tradisional saja, tetapi ada juga yang dapat digolongkan
sebagai sastra non-tradisional (modern), yaitu yang berupa novel yang
banyak ditulis dan diterbitkan sampai tahun 1930-an.  Pada masa ini
sastra Mandailing sudah mengalami pasang surut karena warga masyarakat
Mandailing kebanyakan tidak lagi menggemarinya atau sudah sangat
mengabaikannya.


2.4. Kebudayaan Arsitektur

Seni bina (budaya arsitektur) adalah bagian yang penting dari kebudayaan
fisik masyarakat Mandailing. Terutama arsitektur atau seni bina
bangunan adat berupa istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong
atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang
Magodang atau Sopo Godang.


Kedua bangunan adat tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat
Mandailing dari segi penggunaan praktisnya, etapi juga dari
keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan,
kemuliaan, dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat
kedua bangunan itu berada. Artinya, jika di satu tempat terdapat
bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, itu menandakan bahwa tempat
tersebut merupakan pusat pemerintahan Huta atua Banua, yang sekaligus
berarti bahwa di tempat tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan
dengan pemerintahan yang otonom.


Bagian depan dan bagian belakang dari atap kedua bangunan tersebut yang dinamakan bindu matoga-matogu atau tutup ari dihiasi dengan ornamen tiga warna (putih, merah dan hitam) yang disebut bolang.
Setiap bagian dari ornamen tersebut mengandung makna perlambang.
Misalnya, bagiannya yang berupa garis-garis tegak lurus yang disebut bona bulu melambangkan bahwa di tempat tersebut berdiri satu kerajaan yang marrungga soit marranting,
yaitu kerajaan yang telah memunyai kesatuan wilayah kekuasaan atau
kesatuan teritorial, mempunyai lembaga pemerintahan Namora Natoras,
memunyai Datu, Sibaso dan Ulu Balang, serta raja yang mengepalai
pemerintahan.

Bagian dari ornamen yang berbentuk tiga segi yang disebut bindu atau pusuk robung, melambangkan sistem sosial Dalian Natolu yang dianut oleh masyarakat setempat.


Ornamen yang diterangkan pada tutup ari bagas godang dan sopo godang
berupa garis-garis geometris (garis lurus) kecuali yang menggambarkan
benda-benda alam, seperti matahari, bulan dan bintang, serta bunga.
Fungsi utama dari ornamen tersebut bukan sekadar sebagai hiasan, tetapi
berfungsi simbolik untuk menunjukkan banyak hal yang berkaitan dengan
nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Mandailing.


Bagian-bagian dari bangunan bagas godang diberi nama juga mengandung makna simbolik. Misalnya, tangga bagas godang dinamakan tangga sibingkang bayo,
yang artinya ialah “tangga si pengangkat orang”. Maknanya ialah bahwa
orang yang menaiki tangga istana raja akan bertambah kemuliaannya. Pintu
bagas godang dinamakan pintu gaja manyongkir,
yang artinya ialah “pintu gajah menjerit”. Maknanya ialah bahwa pintu
istana raja senantiasa terbuka untuk dimasuki oleh rakyat.


Bangunan sopo godang (balai sidang adat)
tidak berdinding. Keadaannya yang demikian itu melambangkan
pemerintahan yang harus dijalankan secara demokratis. Penduduk atau
rakyat harus dapat dengan bebas dan langsung menyaksikan persidangan
yang dilakukan oleh Namora Natoras dan raja di balai sidang tersebut dan
sekaligus dapat pula mendengar apa yang mereka bicarakan dalam
persidangan.


Tiang-tiang sopo godang yang terbuat dari berbentuk segi delapan yang disebut tarah salapan.
Keadaannya yang demikian itu menandakan bahwa pembangunan sopo godang
sebagai balai sidang adat dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk
dari delapan penjuru mata angin.

Aspek arsitektur tradisional Mandailing juga digunakan untuk menunjukkan
atau melambangkan status sosial warga masyarakat. Contohnya ialah
jumlah anak tangga rumah tempat tinggal penduduk. Jika anak tangga rumah
jumlahnya genap, keadaan itu menandakan bahwa penghuni rumah yang
bersangkutan adalah golongan hamba. Demikian pula halnya dengan rumah
yang daun jendelanya dibuka arah keluar. Bentuk atap rumah juga
menunjukkan status sosial orang yang menempatinya.


Rumah yang atapnya menggunakan gaya yang disebut saro cino, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut punya hubungan keluarga dengan raja dan termasuk dalam golongan bangsawan atau namora-mora. Rumah-rumah tempat tinggal yang bagian depan dan bagian belakang atapnya dihiasi dengan ornamen yang dinamakan bolang, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut adalah kerabat dekat dari raja dan termasuk golongan bangsawan.


Bangunan bagas godang, sopo godang, dan rumah penduduk di Mandailing
berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang
bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper
berukuran relatif besar. Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang
bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang
digunakan oleh orang Mandailing untuk antigoncangan gempa yang dapat
meruntuhkan bangunan.


Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah
merubuhkan bangunan karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau
terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan
tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu, dapat meredam sebagian
goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang
tiba-tiba.


Pada masa sekarang tidak banyak lagi bangun-bangunan dengan arsitektur
tradisional yang dapat ditemukan di Mandailing. Sebagian besar sudah
punah dimakan waktu dan yang masih tersisa, rata-rata usianya sudah tua.
Berhadapan dengan keadaan yang demikian itu, tampak kesedaran untuk
memelihara atau melestarikan nilai-nilai arsitektur tradisionalnya belum
tumbuh di tengah masyarakat Mandailing. Malahan generasi sekarang
rata-rata tidak memperdulikan dan tidak memahami lagi berbagai makna
simbolik yang terdapat pada bangun-bangunan tradisional sebagai warisan
budaya mereka sendiri. Hal itu terjadi mungkin karena berbagai perubahan
sosial-budaya telah membuat simbol-simbol yang meletak pada bangunan
tradisional tidak relevan lagi dengan keadaan yang sekarang



3. Peninggalan Masa Lalu dan Pelestariannya

Di Mandailing cukup banyak terdapat peninggalan masa lalu, namun
terlihat kurang diperhatikan dan dirawat. Di kawasan Mandailing Godang,
sekitar kota kecil bernama Panyabungan, terdapat peninggalan dari zaman
pra-sejarah berupa menhir dan lumpang batu.


Peninggalan dari zaman Hindu-Buddha juga banyak terdapat di kawasan
tersebut, seperti runtuhan candi Siwa di desa Simangambat dan batu linga
di satu tempat yang bernama Padang Mardia di dekat kota kecil
Panyabungan. Menurut Schnitger (1973:14) runtuhan candi Siwa tersebut
berasal dari abad ke-8 atau ke-9. Di Desa Siabu juga terdapat runtuhan
candi. Di tempat yang bernama Padang Mardia itu juga terdapat batu-batu
besar berbentuk bundar menggambarkan bunga teratai. Mungkin batu
tersebut merupakan sisa runtuhan bangunan candi zaman Buddha.


Di sekitar satu desa bernama Pidoli, terdapat tempat yang bernama Saba
Biara (Sawah Biara). Di tempat tersebut, dalam keadaan tertanam beberapa
meter dalam tanah terdapat banyak batu bata yang tersusun rapi. Karena
tempat itu bernama Saba Biara; besar kemungkinan pada masa yang lalu di
situ terdapat bangunan-bangunan biara Hindu. Di satu gunung yang bernama
Sorik Marapi terdapat pilar batu yang pada permukaannya terukir tulisan
dan catatan tahun 1294 Caka.


Peninggalan dari masa kolonial Belanda juga masih terdapat di beberapa
tempat di Mandailing, yaitu berupa gedung-gedung sekolah yang dibangun
kurang lebih satu abad yang lalu. Bangun-bangunan perkantoran Belanda
yang dahulu terdapat di beberapa tempat di Mandailing pada umumnya sudah
diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru.


Masa kolonial di Mandailing yang berlangsung kurang lebih satu abad
telah membawa pengaruh arsitektur Eropa ke dalam kehidupan masyarakat
Mandailing. Di kota kecil yang bernama Kotanopan sampai sekarang masih
banyak terdapat bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Eropa.
Demikian juga halnya dengan bangunan hotel kecil dan pasanggerahan dari
masa kolonial yang masih terdapat di kota kecil tersebut.


Pada masa kolonial Belanda, Kotanopan merupakan tempat kedudukan
controleur Belanda dan merupakan pusat pendidikan di kawasan Mandailing
Julu. Dan di tempat itulah pasukan militer Belanda membangun benteng
pertahanan pertama kali ketika mereka mulai menduduki Mandailing pada
awal 1830-an. Tapi bangunan benteng Belanda itu sudah lama diruntuhkan
dan tak ada sisinya lagi.

Sampai 1960-an di Kotanopan masih berdiri bangunan besar yang terbuat
dari kayu yang digunakan untuk tempat tinggal controleur Belanda.
Bangunan tersebut dikenal dengan nama Godung. Tapi kemudian bangunan
kolonial itu diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor camat. Di
sebelahnya sampai sekarang masih berdiri bangunan gedung sekolah rakyat
zaman kolonial dan masih tetap digunakan sebagai sekolah sampai
sekarang.


Di sepanjang tepi jalan yang melintasi Kotanopan sampai sekarang masih
terdapat banyak rumah penduduk yang dibangun dengan gaya arsitektur
Eropa. Rumah-rumah tersebut pada umumnya kepunyaan orang-orang kaya dan
terpelajar di masa kolonial. Dan sekarang ditempati oleh keturunan
mereka. Adanya bangun-bangunan rumah yang bergaya Eropa itu menunjukkan
bahwa gologan elit di Mandailing pada masa kolonial terbuka menerima
pengaruh Belanda.


Masih banyaknya terdapat bangun-bangunan dengan gaya arsitektur Eropan
(Belanda) di Kotanopan, membuat kota kecil tersebut sebagai satu-satunya
tempat di Mandailing yang paling kaya dengan bangun-bangunan
peninggalan masa kolonial. Dan keadaannya yang demikian itu diperkaya
pula dengan peninggalan budaya tradisional Mandailing yang masih cukup
banyak terdapat di berbagai desa yang terletak relatif tidak jauh dari
Kotanopan. Peninggalan budaya tradisional Mandailing tersebut berupa
bangun-bangunan rumah tradisional yang terbuat dari papan dan beratap
ijuk yang sepenuhnya dibangun berdasarkan teknik arsitektur tradisional
Mandailing. Dan rumah-rumah tersebut yang terdapat di beberapa desa
tersebut masih ditempati oleh penduduk.

Selain itu di beberapa tempat yang merupakan kerajaan kecil di masa lalu
dan terletak tidak begitu jauh dari Kotanopan masih terdapat bangunan bagas godang dan sopo godang yang telah banyak dibicarakan pada bagian yang terdahulu.


Untuk menjaga dan memelihara agar berbagai peninggalan budaya tersebut
tidak punah dimakan waktu dan gelombang perubahan yang terus terjadi
secara cepat, sangat diperlukan usaha-usaha untuk melestarikannya.
Tetapi sayangnya, sejauh yang saya ketahui, selama ini hampir tidak ada
usaha yang dilakukan oleh pihak mana pun untuk melestarikan peninggalan
budaya tersebut, meski pun keadaannya sudah sangat terancam oleh usianya
yang sudah tua.


Di samping tidak adanya usaha untuk melestarikan peninggalan budaya
Mandailing tersebut, usaha untuk memanfaatkannya buat pengembangan
pariwisata (tourism) di Mandailing juga tidak berkembang. Sampai saat ini baru siap satu biro perjalan (travel bureau)
dari Medan yang sudah mencoba memanfaatkan peninggalan budaya di
Mandailing untuk bisnis parawisata. Usaha itu dilakukannya dengan
menbangun restoran dan penginapan kecil di satu tmpat yang terletak
berdekatan dengan Desa Usor Tolang yang memunyai banyak rumah
traditional Mandailing. Desa tersebut terletak hanya beberapa kilo meter
saja dari Kotanopan yang telah disebutkan tadi.


Kalau kadang-kadang saya berbicara dengan orang lain mengenai
peninggalan atau warisan budaya Mandailing yang kini terancam oleh
kepunahan, orang lain kawan saya bicara sering sekali bertanya dengan
rasa heran, mengapa hal itu bisa terjadi sedangkan orang Mandailing
banyak yang kaya dan berpendidikan tinggi. Tentu saja sulit bagi saya
untuk menjawab pertanyaan yang demikian itu. Tapi akhirnya saya
mengambil kesimpulan bahwa kendala yang terutama menghambat usaha
pelestarian warisan budaya Mandailing bukan ketiadaan dana (uang), tapi
kurangnya kesadaran bahwa peninggalan warisan budaya Mandailing
mempunyai nilai yang tinggi, namun demikian masih saja diabaikan.


Usaha untuk melestarikan warisan budaya Mandailing yang peninggalannya
masih cukup banyak terdapat di Mandailing Julu masih belum berkembang.
Tapi belakangan ini, di satu kawasan yang bernama Ulu Pungkut, tidak
jauh dari Kotanopan, beberapa tokoh yang berasal dari tempat tersebut
sudah mendirikan bangunan bagas godang dan sopo godang yang
baru di desa asal mereka masing-masing. Saya tidak tahu dan tidak dapat
memastikan apakah hal itu satu pertanda bahwa kesadaran untuk
melestarikan warisan budaya etnisnya sudah mulai tumbuh di kalangan
masyarkat Mandailing.

Oleh: Drs. Pengaduan Lubis