Angkola adalah nama daerah di Sumatera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian Selatan.
Batak Angkola adalah orang Batak yang secara geografis bermukim
di antara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing. Orang Batak Toba
bermukim di sekitar Danau Toba, sedangkan orang Batak Mandailing berada
di perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat.
Masyarakat Angkola bermukim di daerah Tapanuli Selatan yaitu di
Sipirok, Padangsidempuan, Batangtoru, dan sekitarnya. Pada saat ini,
daerah sebaran orang Batak Angkola, telah menjadi Kabupaten tersendiri,
yaitu Kabupaten Sipirok Angkola dengan ibu kota Kabupaten (Pasar)
Sipirok.
Di luar daerah ini, dalam jumlah yang cukup significant etnis Angkola banyak ditemukan bermukim di daerah Tapanuli Tengah.
Angkola merupakan salah satu bahagian dari etnis Batak, selain Batak
Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dll.
Karena wilayah Batak Angkola secara geografis terletak di antara
wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing, maka adat, budaya, dan dialek
bahasa Angkola mempunyai karakter sendiri yang unik. Seolah menjadi
bentuk peralihan di antara kedua jenis budaya Batak ini.
Asal usul Masayarakat Batak Angkola
Masyarakat Angkola dahulunya berasal dari Kerajaan Batak yang
diperkirakan berdiri pada 1305 M di Kampung Sianjur Mula-mula, daerah
Pusuk Buhit di sekitar Danau Toba. Ditemukannya banyak kesamaan marga
diantara keduanya mengindikasikan dugaan adanya kesamaan asal usul
leluhur kedua suku ini.
Sekilas Legenda Angkola
Minimnya fakta sejarah kuno tertulis dan peninggalan bersejarah
mengakibatkan kaburnya alur penyebaran nenek moyang orang Angkola dari
Tanah asalnya. Cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat dan
dipadukan dengan data sejarah penaklukan kerajaan Batak kuno pada masa
yang bersamaan dapat dijadikan acuan sejarah yang bersifat semi legenda.
Konon pada masa dahulu tidak dikenal adanya nama Angkola. Menurut
legenda, kampung yang ada pertama kali di daerah ini adalah Sitamiang,
yang didirikan oleh oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Beliau
kemudian memberi nama daerah-daerah di Angkola sekarang seperti :
- Pargarutan (tempatnya mengasah pedang),
- Tanggal (tempatnya menanggalkan hari/tempat kalender Batak) Sitamiang,
- dll.
Selanjutnya dikisahkan mereka kemudian kembali ke Toba meninggalkan
daerah Angkola sekarang dengan alasan tertentu yang tidak jelas dari
sisi sejarah.
Nama ``Angkola `` berasal dari Sungai Batang Angkola yang diberi nama
sesuai nama seorang penguasa yang berasal dari Hindia (India) Belakang
yang bernama Rajendra Koladewa (Angkola / yang dipertuan Kola).
(Kerajaan Colamandala ini juga yang menurut catatan sejarah pernah
menghancurkan kejayaan Kerajaan Sriwilaya). Diperkirakan mereka masuk
tanah Angkola melalui Padang Lawas menuju ke arah pedalaman ke Utara.
Selanjutnya kemudian berkuasa di sana untuk waktu yang cukup lama. Oleh
mereka daerah di sebelah Selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae
(hilir) dan di sebelah Utara Sungai Batang Angkola diberi nama Angkola
Julu (hulu).
Pada akhirnya dikisahkan kemudian banyak pemukim orang-orang India
Belakang tersebut memilih keluar dari Angkola di saat wabah lepra
menyerang daerah tersebut. Diceritakan pula bahwa dalam kekosongan
kekuasaan tersebut, kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru
ke wilayah Angkola termasuk diantaranya adalah Suku-suku (marga) Batak
lainnya dan suku suku lain.
Seterusnya dikisahkan bahwa beberapa waktu kemudian keturunan para
pemukim asli dari Sitamiang yang telah kembali dari pengembaraan mereka
ke Toba, akhirnya kembali lagi ke ke wilayah Angkola. Akan tetapi
setibanya di sana, mereka mendapati bahwa telah banyak bermukim suku
suku lain seperti suku India. Begitu juga dengan marga-marga Batak lain
seperti Harahap, Daulay, Siregar, dan lainnya. Sehingga akhirnya
terjadilah percampuran dan asimilasi diantara mereka.
Saat ini nama Angkola lebih umum disebut sebagai nama tempat atau
daerah, sedangkan suku di Angkola adalah Suku-suku Batak dan keturunan
campuran suku suku lain yang bermukim di sana selama berabad-abad yang
mengusung budaya, adat ,dan bahasa Batak dialek Angkola.
Angkola masih mengakui hubungan kekerabatan sejarah dengan Toba
Umumnya masyarakat Angkola masih mengakui kekerabatan sejarah mereka
dengan Toba. Hal ini pernah dibuktikan oleh para tokoh-tokoh mereka saat
penggabungan wilayah kewedanan (afdeling) mereka ke dalam wilayah
Keresidenan Tapanoeli di akhir abad ke-19 s/d awal abad ke-20.
Berbeda dengan etnis Mandailing dan Pakpak yang tidak mengakui sebutan
pengklasifikasian Batak untuk suku mereka. Begitu juga dengan etnis Karo
dan Simalungun yang sejak awal memang tidak dimasukkan oleh Belanda ke
dalam wilayah Keresidenan Tapanoeli.
Sekitar tahun 1926-1929 perantau etnis Angkola di kota Medan pernah
berselisih dengan perantau etnis Mandailing, terkait tidak diizinkannya
pemakaman bagi etnis Angkola di pemakaman Muslim Mandailing di areal
pekuburan Sungai Mati Medan. Etnis Mandailing tidak mengizinkan etnis
Angkola yang juga mayoritas beragama Islam untuk dimakamkan di pekuburan
Muslim yang khusus untuk etnis Mandailing. Perselisihan ini akhirnya
diselesaikan oleh Kesultanan Deli.
System Kekerabatan Batak Angkola
Seperti halnya suku Batak Toba, penduduk Angkola juga mempunyai sistem
kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na Tolu (dalihan ‘tungku’, na
‘yang’, tolu ‘tiga’) yang berarti ‘tungku yang tiga’.
Sistem kekerabatan ini mempunyai 3 (tiga) unsur dasar yang pada masyarakat Angkola terdiri atas :
1) Kahanggi yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki,
2) Anak boru yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin,
3) Mora yaitu keluarga laki-laki dari saudara isteri.
Ketiga unsur ini memegang peranan penting dalam lingkungan kekeluargaan
masyarakat Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini
jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi
sesuai dengan kedudukannya.