-->

Menjadi Pulau Samosir Berkat Tano Ponggol

Pulau apa yang terletak di tengah-tengah Danau Toba? Semenjak Sekolah Dasar, kita sudah dicekoki dengan pemahaman bahwa Samosir adalah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Walaupun nggak sepenuhnya salah, namun pernyataan ini nggak sepenuhnya benar juga. Samosir sejatinya adalah sebuah daratan yang menjadi satu dengan daratan Sumatera. Pada masa itu, posisi Danau Toba berada di utara, timur, dan selatan daratan Samosir. Samosir terhubung dengan Sumatera via daratan sempit di wilayah timur, di sekitar wilayah Pangururan. Nah, pada masa penjajahan Belanda kurang lebih pada tahun 1907, dilakukanlah rencana untuk membuat terusan sepanjang 1 KM yang betul-betul memisahkan daratan Samosir dari Pulau Sumatera.

Dua daratan yang terpisah tersebut dihubungkan oleh sebuah jembatan dengan lebar kurang lebih 20 meter. Terusan di bawah jembatan inilah yang dikenal hingga saat ini sebagai Tano Ponggol atau secara harafiah memiliki arti : “tanah yang dipotong”. Terusan ini dimaksudkan agar transportasi air di Samosir lancar dan kapal mampu mengelilingi bakal calon pulau tersebut.

 Sepotong tanah yang sebenarnya memiliki nilai historikal tersebut jauh dari kesan spesial. Selepas gerbang utama Kota Pangururan yang berhiaskan ukir-ukiran Batak (dan running text LED), Sampri yang saya kendarai berbelok ke kiri, melewati sebuah kedai kopi, dan masuk ke satu jalan sempit dengan deretan rumah-rumah di kanan dan kiri jalan. Jalanan yang saya lalui tidak halus, banyak berisi pasir.

Tiba-tiba saja Bus Sampri melewati sebuah tempat yang nampaknya jembatan, lengkap dengan pemandangan sungai di kanan dan kiri. Tak lama, Sampri berbelok ke kiri dan menyusuri jalan menuju ke barat. Saya iseng bertanya walaupun sudah tahu jawabannya, “Pak, Tano Ponggol dimana yach?”. “itu, barusan kita lewat”, jawab sang supir sambil terus memacu kendaraannya.

Sayang sekali, walaupun memang berukuran tidak terlalu lebar, tapi sebaiknya sepotong wilayah yang bersejarah ini diberi petunjuk, kalau perlu gapura penanda bahwa kita sedang memasuki Tano Ponggol. Lebih asyik lagi kalau ada papan informasi sejarah akan keberadaan tempat ini. Saya yang melewati tempat ini kurang dari 1 menit tidak merasakan adanya keistimewaan akan tempat ini.

Ketidakterurusan tempat ini terlihat jelas dari pagar besi berwarna kuning yang berada di sisi jembatan namun sudah tergerus dimakan karat. Sisi kanal yang seharusnya rapih pun dipenuhi oleh berbagai macam “benda” mulai dari keramba nggak jelas hingga aneka macam tumbuhan seperti eceng gondok dan tanaman air lainnya. Nggak heran, masalah pengerukan Tano Ponggol dan kapal yang tidak bisa melewati terusan ini (bahkan kapal kecil sekalipun) menjadi hal yang tidak akan selesai untuk dibicarakan.

Konon, biaya yang dikucurkan untuk mengeruk kanal ini cukup besar namun hasilnya tetap sama saja : pendangkalan Tano Ponggol terus terjadi hingga hari ini. Sayang dan sayang sekali mengingat terusan ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan menjadi objek wisata menarik di Kabupaten Samosir, terutama di dalam Kota Pangururan. Sayang banget khan, kalau terusan yang sebenarnya menarik ini nggak bisa menimbulkan kesan apapun terhadap turis atau penduduk yang melintas kurang dari 1 menit di atasnya. "Eh, memangnya kita barusan melewati apaan sich?".

Catatan : Kunjungan dari teman....