Bila
mendengar istilah "Tortor Batak" maka yang terbayangkan adalah
sekelompok orang (Batak Toba) yang menari (manortor) diiringi
seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan). Gerak tari yang
gembira ria, lenggak-lenggok yang monoton, yang digelar dalam sebuah
pesta (suka/duka) di kawasan Tapanuli Dulu, tradisi manortor pada
umumnya berlangsung dalam kehidupan masyarakat Batak antara lain wilayah
Samosir, wilayah Toba dan sebagian Humbang. Sementara untuk kawasan
Silindung setelah masuknya Kristen dikenal budaya "menyanyi" dan tarian
"moderen" dan di kawasan Pahae dikenal tumba (tarian gembira dengan lagu
berpantun) seperti disebut Pahae do mula ni tumba.
Perkembangan
selanjutnya hingga memasuki abad "modern" masyarakat Batak membawa seni
budayanya ke tanah perantauan di luar Tapanuli termasuk seni tortor
yang pada awalnya menggunakan musik rekaman (kaset) hingga akhirnya
seperangkat alat gondang sabangunan dibawa hijrah yang kemudian kelompok
musik tradisionalnya melayani masyarakat Batak sekaligus mata
pencaharian atau bisnis musik.
Di tahun 1970- hingga 1980-an,
hampir semua kegiatan adat masyarakat dilakukan dalam bentuk tortor dan
gondang sabangunan, baik dalam pesta adat perkawinan, pesta peresmian
rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan juga
pesta adat kematian orangtua, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta
naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta
Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir),
pesta rondang bintang (Simalungun). Tidak ketinggalan Pemerintah Daerah
Tapanuli Utara, dalam rangka pelestarian seni budaya Batak Toba selalu
menggelar festival tortor menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17
Agustus. Festival ini dilakukan mulai dari tingkat Kecamatan hingga
diperoleh utusan dari 5 wilayah (Silindung, Humbang I, Humbang II, Toba
dan Samosir) untuk mengikuti Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan
selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival Tortor di tingkat
Propinsi. Setelah otonomi daerah, masing-masing Kabupaten ex Tapanuli
Utara juga menggelar festival tortor dalam berbagai kegiatan pesta
perayaan hari jadi atau hari-hari besar lainnya juga untuk kegiatan
kepariwisataan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergulirnya
waktu, kehadiran gerak tari yang trend di tahun 1990-an seperti dansa,
jojing dsb, simultan dengan munculnya alat musik elektronik (keyboard),
di beberapa wilayah Tapanuli, penggunaan tortor dan gondang sabangunan
hampir tidak kelihatan lagi, hingga bila masyarakat ingin menyaksikan
gondang sabangunan dan tortor Batak harus secara khusus ke daerah wisata
yang memang tersedia kelompok seni budaya tradisionalnya seperti Tomok,
Simanindo, Pangururan di Samosir, Perkampungan Wisata di Jangga
kec.Lumbanjulu Toba, sementara kelompok gondang sabangunan kelihatannya
"bubar" atau hijrah ke luar bona pasogit antara lain ke Jakarta atau
Jawa, Riau dan sebagainya. Kalaupun ada hajatan atau pesta yang
menginginkan gondang Batak biasanya dipesan dari wilayah Toba (Balige,
Porsea, Laguboti) dan wilayah Samosir, sedang di wilayah Humbang
peralatan musik gondang yang digunakan kelihatannya tidak lengkap (hanya
ada beberapa buah taganing, ogung dan seruling).
Hingga
memasuki abad 21, alat musik yang dipergunakan merupakan campuran dari
alat musik modern (keyboard, drum) dengan alat musik tradisional
(taganing, seruling) saja, dan hampir seluruh daerah/wilayah memilikinya
dengan menggunakan "lagu/nyanyian" modern yang diciptakan seiring
dengan trend lagu yang berkembang. Mungkin bagi orang-orang yang
mendalami adat dan seni budaya Batak tradisional, kondisi ini sedikit
menimbulkan pertentangan bathin bahkan tidak respek, sementara bagi
masyarakat umum tidak mempersoalkannya bahkan menikmatinya.
Ada
ironi yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta yang menggunakan musik
modern atau campuran sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika
penyelenggara (hasuhuton) dan para tetamu, undangan
(naniontang) akan manortor, maka dia meminta pemusik untuk menggelar
musiknya dengan menyebut "Panggual-Pargonsi, baen hamu ma jo gondang i,
asa manortor hami, baen hamu ma gondang mula-mula, gondang somba,
gondang simonang-monang, gondang hasahatan sitio-tio". Maka kelompok
musik akan menabuh drum dan membunyikan keyboardnya dengan lagu-rythim
modern dan tarian yang dipertunjukkan sudah pasti tarian "modern" bukan
lagi tortor Batak.
Kondisi yang demikian tentu
akan semakin mempercepat punahnya tortor Batak dan musik tradisional
Batak-gondang sabangunan, hal ini sudah menggejala dan kelihatan nyata
terutama bagi generasi muda Batak, mereka tidak lagi mengetahui tortor
dan musik Batak yang sebenarnya, yang mereka ketahui adalah apa yang
mereka lihat selama ini "musik dan tarian modern" yang ddigelar dalam
pesta-pesta, itulah tortor dan musik Batak. Timbul pertanyaan, haruskah
kita biarkan tortor-musik tradisional Batak ini punah? Bukankah tortor
dan musik Batak tersebut adalah identitas budaya Batak dalam keragaman
seni budaya Indonesia?
Tortor, Makna Kehidupan Seni-Budaya Orang Batak
Sebagaimana
lazimnya dalam berbagai etnis di dunia, gerak tari sebagai bagian dari
seni budaya merupakan refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat,
perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa,
sebut para budayawan, maka tarian/gerak adalah juga bahasa (tubuh) yang
menggambarkan bangsa. Dalam tarian tergambar cita rasa, daya cipta dan
karsa dari sekelompok orang-orang. Tarian Melayu yang lemah gemulai,
tarian Nias atau Papua yang menghentak-hentak, atau tarian Mexico yang
cepat-sigap, menggambarkan bahasa hati/jiwa, sikap hidup mereka.
Akan
halnya tortor Batak, tidak jauh berbeda dengan makna yang
digambarkannya dalam gerak yang selalu diiringi oleh musik tradisional
gondang sabangunan. Tortor Batak juga menggambarkan pengalaman hidup
orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira/senang, bermenung,
berdoa/menyembah, menangis, bahkan keinginan-cita-cita dan harapan dan
lain sebagainya dapat tergambar dalam Tortor Batak. Karenanya, penulis
tidak menerima pernyataan sementara orang-orang bahwa Tortor Batak
sifatnya "monoton" atau begitu-begitu saja.
Di era masuknya agama
Kristen ke tanah Batak, pernah terjadi di sebuah wilayah bahwa tortor
Batak tidak diperbolehkan dipagelarkan dalam pesta atau hajatan lain,
karena dianggap bernuansa "animisme" bahkan di zaman inipun justru ada
"agama" yang mengharamkan menggunakan ulos,, tortor, gondang sabangunan
dan adat Batak dengan alasan bahwa mereka yang menggunakannya bukan
orang yang beragama. Kenyataan di dalam masyarakat, ulospun dibakar,
mereka yang menggelar gondang dan tortor Batak dikeluarkan dari sekte
gereja.
Dapat digambarkan bahwa tortor Batak memaknai kehidupan
seni-budaya Batak, persoalannya apakah bertentangan dengan agama atau
tidak tergantung kepada cara pandang dan pemahaman kita. Bahkan
akhir-akhir ini, justru dalam kebaktian agama (gereja) tortor dan
gondang Batak telah menjadi bagian dan pendukung acara kebaktian
(misalnya lakon pengakuan dosa dan mengantar persembahan
digambarkan/dikoreografis dengan tortor Batak). Gambaran kehidupan orang
Batak sebagaimana direfleksikan dalam tortor Batak tentu akan dapat
dipahami melalui urut-urutan dan nama musik gondang yang diminta oleh
tetua kelompok (paminta gondang), biasanya didahului dengan Gondang
Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang,
Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang diakhiri
dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio. Demikian juga tortor/gerakan yang
dilakonkan akan berbeda sesuai dengan irama dari gondang yang dibunyikan
oleh Pargonsi (Pemusik).
Bagi mereka yang mengetahui, memahami
dan menikmati irama gondang dan tortor akan menyadari betul apa yang
digambarkan dan dimaknai tortor yang dipagelarkan. Dengan demikian,
semua orang Batak dapat manortor tetapi tidak semua disebut panortor
(penari) atau "pandai manortor" karena untuk menjadi panortor Batak
haruslah memiliki talenta dan latihan yang kontinu.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Tortor (Batak)
Dalam
melakonkan Tortor, sudah barang tentu tidak sekedar membuat gerak
tangan, kaki atau badan, juga gerak mata (pandangan) dan ekspressi
(mimik) tetapi juga musik pengiring yang dipergunakan harus berirama
Batak yakni gondang sabangunan yang terdiri ada taganing, ogung (doal,
panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek, sebab gerakan manortor
harus mengikuti irama/rytme perangkat musik tersebut. Selain itu,
pakaian yang lazim digunakan juga harus sesuai dengan motif Batak,
misalnya selendang atau ulos yang dipakai tergantung maksud dan tujuan
acara-pesta seperti ulos sibolang, ragi idup, tali-tali, suri-suri dan
sebagainya
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa gerak tortor
Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda
pula gerak tortor laki-laki dan gerak tortor perempuan. Menurut para
pemerhati tortor, bahwa tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara
tortor raja dengan tortor natorop.
Sementara perangkat lain
dalam acara tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin
kelompok tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang),
untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami
urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang.
Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya masyarakat
Batak yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman
dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika,
moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda.
Jika
belakangan ini dilansir bahwa generasi muda Batak kehilangan jati diri
ditandai dengan tidak mampu berbahasa Batak, tidak bersikap seperti
orang Batak, tidak memahami seluk-beluk adat Batak, maka ke depan hal
ini harus menjadi bagian dari perhatian masyarakat Batak dan Pemerintah
di Bona Pasogit.
Selayaknya kita berterima kasih kepada
Pemerintah Daerah yang berupaya melestarikan budaya Batak baik melalui
penetapan Belajar Aksara Batak menjadi muatan lokal di sekolah SD,
(mungkin perlu hingga tingkat SMP dan SMA); tetapi alangkah baiknya bila
Pemerintah Daerah juga memberi perhatian terhadap pelestarian adat
budaya Batak seperti Festival Marhata Adat, Festival Tortor, Festival
Marturi-turian, Lomba Menulis Cerita-Legenda/Sejarah, dan lain
sebagainya. (*)
Sumber : Melani Butarbutar