-->

Toba


ASAL USUL BATAK (TOBA)

Oleh : Dr. Parakitri Tahi Simbolon

  

[Pada bulan Oktober 1997 diadakan satu Seminar Adat Batak Toba di Medan.
Artikel ini adalah satu makalah yang dibawakan oleh pemikir sosial Dr.
Parakitri Tahi Simbolon. Gagasan yang disampaikan penting dan juga
menarik karena ditulis dalam bahasa Batak Toba. Hal yang sangat langka
sekarang ini, makalah ilmiah ditulis dalam bahasa Batak Toba. Ternyata
bahasa Batak Toba bisa juga dipakai untuk karya ilmiah meski ada
kekurangan disana sini. Terimakasih kepada Bapak Tahi Simbolon untuk
disajikannya makalah disini.]



Pengantar

Panitia seminar ini meminta saya menjadi pembicara pertama, tentu
panitia berharap agar saya dapat mengungkapkan dengan jelas peranan
seminar ini dalam hubungannya dengan tantangan problem yang dihadapi
Orang Batak Toba akhir-akhir ini. Sehubungan dengan itu hendaknya perlu
pula saya jelaskan kemana arah yang akan kita tuju di masa depan kalau
kita mau maju (papaga na lumomak = (harfiah) rumput yang lebih
lebat/subur).


Tentu saya tidak akan bisa memenuhi harapan besar itu sepenuhnya. Namun
demikian, seperti pepatah mengatakan : pauk-pauk hudali ma ninna,
pago-pago tarugi, na tading ni ulahi, na hurang pinauli (=kurang
lebihnya, marilah kita saling mengisi).

Kira-kira demikianlah bentuk pembahasan kami.


Saya akan mengawali dengan mengemukakan rangkaian “pertanyaan”,
“perkara”, dan “masalah” yang menjadi sebab diselenggarakannya seminar
ini, menurut panitia dan para pemenang sayembara. Tidak disangkal tentu
ada kebenaran dari pendapat yang dikemukakan panitia dan pemenang
sayembara tersebut. Tetapi, kita pahami pula bahwa banyak sekali
segi-segi persoalan yang perlu dihadapi semua bangsa di semua tempat,
tidak saja oleh Orang Batak Toba. Karena itu, kalau kita berkumpul dan
membahas satu-satu persoalan, ada baiknya kita perlu hati-hati menimbang
berat dan luasnya persoalan itu diantara persoalan-persoalan yang rumit
(pasiar pasebut). Lagi pula, jauh lebih mudah memberi suatu jawaban
daripada merumuskan suatu pertanyaan, kalau salah merumuskan pertanyaan
pastilah akan salah jawaban yang kita berikan sekalipun kita semua
sepakat atas jawaban itu.


Ada baiknya pula kita merenungkan nasihat Batak Toba tentang keunggulan
pendapat yang marsamung (sudah teruji). Maknanya tercermin dari pepatah
yang mengatakan, yaitu, purpar pande dorpi mambahen tu dimposna, manang
tuat Siputih nangkok Sideak, i na ummuli i ma ta pareak (= perdebatan
yang dilakukan diantara orang-orang yang kompeten, akan menghasilkan
pendapat yang bermutu).


Karena itu, topik bahasan saya kedua nanti, akan mencoba menguraikan
masalah terbesar dan yang paling dalam dari penerapan adat yang akan
dihadapi orang Batak Toba di hari depan. Pepatah mengungkapkan, hori
narundut bahenon tu tapean, aek na litok singkoran tu julu (= telusuri
dahulu pangkal/akar persoalannya, baru diperoleh jawaban yang benar).
Kalau ada kekeliruan dalam pelaksanaan adat itu, telusuri dulu apa sebab
utamanya, dimana akar persoalannya. Topik penutup, saya akan mencoba
memprediksi kira-kira kemanakah arah yang akan kita tuju agar kita eksis
(survive) nanti di tahun-tahun yang akan datang pada abad XXI.


Masalah menurut versi panitia (Gora mangihuthon panitia)

Panitia menyatakan akan membahas praktek pelaksanaan adat kita, adat
Batak Toba. Menurut panitia, sudah semraut katanya, bahkan sudah
kacau-balau (majemor) praktek pelaksanaan adat itu akhir-akhir ini.
Sering katanya pelaksanaannya terlalu lama, bertele-tele, terlalu
bising.


Pendeknya, kacau-balau (amburadul) dan sering adat itu menjadi awal
pertikaian dan pemicu perkelahian, bukan lagi sarana untuk
bersilaturahmi (sibahen na horas) bagi sesama kerabat yang saling
mengasihi. Hal-hal itulah yang sering menjadi penyebab orang kita
terhalang melaksanakan pekerjaannya sehari-hari, mengakibatkan terhalang
pula mencarai rejeki. Di atas seluruhnya itu, kebanyakan kita
menjalankan adat itu tanpa mengerti maknanya. Asal dijalani saja adat
itu tapi sudah kehilangan rohnya (tondina).


Jadi menurut panitia, masalah atau pertanyaan pokok dalam seminar ini
adalah, bagaimanakah caranya menjalankan adat itu dengan benar, tetapi
kita tetap dapat mengadaptasi terhadap tuntutan kehidupan modern.
Pertanyaan atau hasrat seperti itu jelas merindukan suatu keinginan
untuk di satu sisi, ingin melestarikan adat (dengan benar), di sisi
lain, dalam waktu yang sama ingin melakukan pembaruan. Pelestarian dan
pembaruan adat, conservation and change kira-kira demikianlah benang merah pengharapan dari panitia.


Terkait dengan pertanyaan (problem) tersebut tadi panitia sudah
menyelenggarakan sebuah sayembara. Hasilnya diumumkan pada hari Minggu,
24 Agustus 1997. Dari 193 naskah yang masuk ke panitia, 18 diberi nilai
terbaik. Ke-18 naskah tersebut mengandung 6 perkara (issue utama) :


Pertama, “Adat Batak Toba dan Relevansinya dengan Agama”. Kedua, “Pelaksanaan Adat Batak dalam Globalisasi”. Ketiga, “Parjambaran di Ulaon Unjuk”. Keempat, “Ulos na Marhadohoan & Ulos Holong di Ulaon Unjuk”. Kelima, “Paulak Une dohot Maningkir Tangga”. Dan keenam, berkaitan dengan hal-hal lain tetapi berkaitan dengan Adat Batak Toba.

Setelah saya baca 5 dari 6 naskah (karena saya hanya dikirim 5) yang
ditulis para pemenang, tampaklah beberapa penekanan pendapat, seperti di
bawah ini.


Semua pemenang memberi tekanan (aksentuasi), adat harus berubah, dan
adat Batak itu memang sudah berubah. Sayangnya, sering perubahan itu
bertentangan dengan nilai agama (Kristen) dan bertentangan pula dengan
pergaulan orang Batak Toba dewasa ini. Bahkan, seperti yang ditulis
Bapak St. Oloan Sihombing, S.H., adat itu kebanyakan tidak lagi dihayati
walaupun tetap dijalani kebanyakan orang Batak Toba.


Supaya adat itu dapat membaur dengan Agama (Kristen), St. Oloan
Sihombing menyarankan agar digunakan dua saringan untuk menapis mana
adat yang harus dilestarikan, mana yang ditinggalkan. Dua saringan itu
adalah : “adat yang bermuatan kasih” dan “ adat yang meneguhkan kuasa
Tuhan”. Melaksanakan hajatan (adat) besar yang memberi kemegahan bagi
tuan rumah, rasanya sulit mewujudkan adat yang bermuatan kasih, begitu
pula halnya mereka yang melaksanakan pesta adat yang (hanya) menimbulkan
keributan. Padahal ada pepatah mengatakan, “sinuan bulu sibaen na las,
ni ula adat sibahen na horas” (=mestinya pelaksanaan adat itu demi
harmoni kehidupan). Sebaliknya, adat yang berwujud formalitas atau
karena kewajiban saja harus ditinggalkan. Seperti pepatah mengatakan “si
soli-soli do adat, si adapari gogo” (= kau beri dulu, baru ku kasih)
karena tidak ada kasih di dalamnya. Begitu pula halnya adat yang
mengatakan bahwa orangtua dan Paman (tulang) adalah Tuhan yang tampak,
mestinya juga ditinggalkan, karena menurut Markus 7:13 “Dengan demikian
firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat isti adat yang kamu
ikuti”.


Bapak Bonar Victor Napitupulu menyatakan, jadi bertele-tele dan centang
perenang adat yang kita jalani itu karena banyak terkontaminasi oleh
unsur-unsur yang sebetulnya bukan adat, seperti peristiwa babtisan,
lepas sidi, dapat gelar, dan juga karena menang perkara. Jadi hilang
makna adat yang sesungguhnya karena kita tidak berupaya untuk
memahaminya. Sekiranya kita mengerti, atau setidak-tidaknya para juru
bicara adat itu mengerti makna dari upacara adat, tentunya mereka akan
melantunkan pepatah yang sarat makna, dan kitapun bisa belajar mengenai
nasihat kehidupan yang diturunkan nenek-moyang kita, atau bahkan
memperoleh bekal untuk memperkukuh jiwa (tondi). Karena itu, pelaksanaan
adat itu tidak lagi seperti sekarang, bising dan tidak bermakna.


St. W.K. Tampubolon menekankan perlunya memilih juara-wicara (raja
parsinabul) yang pintar dan cerdas dalam upacara adat, karena hanya
orang seperti itulah yang mampu meredam masalah-masalah adat yang timbul
dalam suatu acara adat.


Terkait dengan adat pemberian ulos herbang (ulos yang bermakna wajib)
dan ulos holong (ulos pelengkap) yang sering jumlahnya berjubel, Prof.
Drs. L.D. Siagian menyatakan, menurut adat yang sesungguhnya hanya empat
ulos yang bermakna wajib, yaitu ulos pansamot, hela, pamarai, sihunti
ampang). Sekiranyapun harus ada ulos tambahan, seperti yang pernah
dipatok oleh beberapa marga, janganlah lebih dari 11 lembar ulos.


Terkait dengan upacara “paulak une dohot maningkir tangga” (=upacara
simbolis (pengganti) mengunjungi rumah pengantin oleh pihak keluarga
perempuan), Ir. T.V. Sipayung berpendapat bahwa upacara itu boleh
dilaksanakan, boleh tidak, tergantung kesepakatan kedua belah pihak,
atau fakultatif sifatnya. Menurut Ir. T.V. Sipayung, kalau hak dan
kewajiban pokok pesta adat itu sudah dilengkapi, pihak pengantin pria
maupun pria sudah melunasi hutang adatnya, slebihnya hanyalah
embel-embel.


Jadi, sekiranya betul bahwa perkara (problem) yang kita hadapi hanyalah
sekedar kekeliruan penerapan adat Batak sehari-hari, maka jawabannya
sudah cukup memadai kita peroleh dari makalah para pemenang sayembara
tersebut. Tentu tidak perlu lagi kita seminarkan pendapat-pendapat
tersebut, lagi pula sudah banyak pendapat serupa yang telah mengemuka
selama ini. Tinggal melaksanakan saja kita, tidak lagi perlu seminar.


Apakah gerangan sebabnya kita tidak dapat melaksanakan pendapat-pendapat
yang bagus itu, padahal sudah berulang-ulang kita dengar dan kita
berseminar? Jawabnya, tentu karena masih ada pertanyaan-pertanyaan,
perkara, atau masalah lain yang bobot masalahnya jauh lebih besar,
dibanding masalah yang kita hadapi dalam melaksanakan adat kita
sehari-hari.


Masalah menurut versi pemenang sayembara

Sekalipun tidak tegas terungkap, saya pikir ada pertanyaan terselip di
hati Pak Bonar Victor Napitupulu sebagaimana tertulis pada makalahnya
butir 3a (halaman 3) “Kurangnya minat masyarakat Batak untuk menggali
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap upacara adat Batak itu
[membuat] sering terjadi silang pendapat”, justru menjadi penyebab
semrautnya (centang perenangnya) pelaksanaan dari adat itu. Dengan
pernyataan seperti itu, masalah orang Batak menurut Bonar Victor
Napitupulu menjadi berbeda dengan masalah yang menjadi sebab
diselenggarakan seminar ini. Kalau menurut panitia, bagaimana mempertemukan pelaksanaan adat itu dengan kehidupan modern. Kalau menurut Bonar Victor Napitupulu, tidak
akan dapat dipadukan pelaksanaan adat itu dengan kehidupan modern
apabila tidak ada pemahaman yang mendalam mengenai makna adat yang kita
jalankan
.


Kalau demikian halnya, bagaimana kita mengetahui seperti apa
“nilai-nilai luhur” itu? Bagaimana gerangan korelasi dari nilai-nilai
luhur itu dengan adat yang melingkupinya? Kenapa hilang “nilai-nilai
luhur” itu dari adat yang kita jalani.

Inilah pertanyaan sesungguhnya yang dapat disepakati menjadi masalah
besar yang dihadapi orang Batak Toba selama ini. Dibawah ini kami coba
untuk menelusurinya.


Aek na litok singkoran tu julu (air keruh sebabnya ditelusuri ke hulu)

Orang Batak sendiri percaya, ada hukum di atas adat, dan ada
kepercayaan, keimanan, atau falsafah di atas hukum. Kepercayaan atau
falsafah itu sering digambarkan, seperti disampaikan Panggading, Raja
Pandua ni Sisoding (Simamora) kepada J.C. Vergouwen (The Social Organization and the Customary Laws of the Toba Batak of Northern Sumatra) 65 tahun yang lalu. Dikatakan, “Tuhan mencipta manusia memelihara hukum. Tuhan mencipta hukum memelihara adat”.


Merujuk kesitu, berarti, di atas adat ada hukum, dan di atas hukum ada
kepercayaan manusia atau falsafah orang Batak Toba. Demikianlah
pertautan “nilai-nilai luhur” dengan adat.

Ratusan tahun sebelum lahir ilmu kebudayaan, antropologi, nenek-moyang
orang Batak sudah paham kalau ada masalah di hilir, cari penyebabnya ke
hulu, kalau ada fenomena masalah dipermukaan, cari pangkal masalahnya.
Kalau terjadi kekusutan pada adat maka telusuri penyebabnya pada hukum
dan kepercayaan, keimanan, atau falsafah itu.


Menurut Vergouwen, yang meneliti dengan mendalam hukum orang Batak,
hukum utama di Batak Toba ialah “tata adat yang dicipta dan keluhuran
budi dari nenek moyang terdahulu, itulah yang bersifat penuh, bulat,
utuh, pantang untuk diubah (angka adat na pinungka dohot sahala ni
ompunta sijolo-jolo tubu, ima tutu namartagan sopiltihon, maransimun
sobolaon; adat na pinungka ni ompunta tongka pauba-ubaon). Karena itu,
sekalipun belum dapat diketahui proses lahir dan pertumbuhan dari adat
ciptaan itu, tetapi bagi kita cukup jelas ada titian yang diwariskan
berupa pepatah-pepatah (umpasa) yang berperan membungkus makna
sesungguhnya dari hukum itu.


Hanya memang, gampang mengatakan, tetapi tidak mudah menelusuri hukum
dalam pepatah-pepatah itu. Banyak sekali pepatah, tetapi banyak pula
diantaranya yang tidak dapat diharmonikan pemaknaannya. Sekalipun hukum
yang diciptakan nenek moyang kita itu pantang untuk diubah-ubah tetapi
orang Batak Toba tampaknya punya kelenturan sikap untuk menerima
perubahan itu, tergantung kondisi geografisnya. Karena ada pepatah
mengatakan, pemberlakuan hukum itu sesuai dengan tempatnya (muba tano,
muba duhutna, muba laut, muba uhumna).


Dikatakan pula dimana kita tinggal di situ kita menggunakan takaran
setempat (tano niinganhon, disi solup pinarsuhathon). Jadi, kelenturan
penerapan hukum itu dipengaruhi oleh kondisi wilayah, komunitas,
perserikatan kekerabatan, hal itulah sering menjadi sebab sulitnya
menelusuri korelasi adat itu ke hulu terhadap hukum, apa lagi terhadap
falsafah.


Demikian pula halnya sifat dari kepercayaan orang Batak Toba,
kepercayaan atau falsafah yang menjadi akar dari hukum itu. Gampang
(damun) menyebutnya tapi karena ragam banyaknya, sulit menentukan mana
falsafah utama dari hukum itu.


Sekiranya ditanya sekarang, mana yang dipercayai orang Batak Toba sejak
dulu; dunia ini (universe) diciptakan atau tidak diciptakan Tuhan?
Jawabnya cukup terang, diciptakan Tuhan. Tapi kalau ditanya lagi,
setelah Tuhan mencipta dunia, masihkah tergantung pada Tuhan semua hal
yang terjadi di dunia ini, atau tergantung pada manusia? Barangkali suda
kabur jawabnya.

Kalau mau kita periksa jawaban yang benar menurut mitos yang dipercaya
orang Batak Toba mengenai penciptaan dunia ini, muncul pula kesulitan,
karena ternyata kisahnya bermacam-macam sesuai daerahnya. Sudah banyak
sarjana yang meneliti hal itu, tetapi mereka juga belum sampai pada satu
pendapat.


Ada dua orang Zendeling Jerman yang bernama A.W. Kodding dan Johanes
Warneck. Menurut mereka, Tuhan orang Batak Toba ialah Mula Jadi Na
Bolon, itulah pencipta dunia ini, tetapi Dia bermukim di langit
(transcendent). Kebanyakan yang terjadi di dunia bukan lagi menjadi
urusan Mula Jadi Na Bolon, melainkan sudah urusan (roh) manusia hidup
(sahala, tondi) dan urusan dari roh manusia mati (sumangot) menurut
mereka. Menurut kedua sarjana itu, kalau demikian, tentunya tidak lagi
diperlukan macam-macam sakramen dalam acara keagamaan Batak Toba dahulu,
seperti pesta tahunan, pesta bius, dan lain sebagainya. Dan kita jangan
lupa kepercayaan seperti itu agak mirip juga dengan keimanan Kristen
Protestan.


Kemudian ada pendapat Prof. Dr. Philip O. Lumban Tobing, selaku penguasa
(raja) di Benua Atas, Mula Jadi Na Bolon (menjelma) menjadi Tuan Bubi
Na Bolon, selaku raja Benua Tengah (menjelma) menjadi Sialon Na Bolon, selaku raja Benua Bawah (menjelma) menjadi Pane Na Bolon.
Dialah pencipta bumi dan langit, tetapi Dia tidak mengasingkan diri di
Benua Atas. Dia tetap hadir dan campur tangan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Apapun yang terjadi di dunia ini, semata karena Dia, dan
hukum berserta adat yang dilaksanakan oleh manusia (sesungguhnya) adalah
Tuhan yang hadir/tampak (Immanent).


Satu lagi pendapat dapat kita kutip dari Waldemar Stöhr dan Uskup B.
Sinaga. Ya (Tuhan) di Benua Atas, Ya (Tuhan) di Dunia ini. Dia mencipta
dunia ini, Dia juga yang terus bekerja di dunia ini. Tuhan sang
Pencipta-nya orang Batak Toba adalah “satu kesatuan”, yang di Benua Atas
dan di dunia ini (well-balanced whole of God’s transcendence and immanence).


Kalau memang demikian gambaran permasalahnya, berarti akar atau sumber
dari adat kita itu tidak satu, melainkan bermacam-macam. Kalau memang
beragam, bagaimana kita dapat menelusuri sebab dari keruhnya air itu ke
hulu? Apa lagi yang dapat jadi acuan untuk memahami kepercayaan utama
orang Batak Toba, falsafah yang memberi pemaknaan bagi hukum dan adat
yang mereka jalani.


Jawabannya, sekali lagi sekalipun agak samar-samar, ada diberikan Bonar
Victor Napitupulu. Pada awal tulisannya disebut “Apabila kita hendak
membicarakan masa yang akan datang yaitu Adat Batak dalam era
globalisasi, perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana lahirnya Adat
Batak itu dahulu kala”.


Dapat dikatakan, usul dari Bonar Victor Napitupulu itu adalah,
menggunakan sejarah sebagai alat analisis guna mengetahui apa
sesungguhnya kepercayaan pokok atau falsafah orang Batak Toba.

Semua kita mengetahui, sejarah adalah segala sesuatu yang pernah terjadi
dan yang berdampak kepada peri kehidupan seseorang atau sekelompok.
Biar jelas, berdampak artinya yang membentuk dan mengubah kebiasaan,
adat, hukum, dan kepercayaan (keyakinan).


Tentu banyak peristiwa (sejarah) serupa yang pernah dirasakan orang
Batak (Toba), tetapi kita pilihlah satu dua yang terbesar sebagai alat
(metoda) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tadi. Pertama, tentang asal muasal orang Batak (Toba) bermukim di Tanah Batak (sekitar tahun 1500-an). Kedua, ketika kuasa asing masuk dan mempengaruhi kehidupan di Tanah Batak (1822 – 1945). Ketiga, + 50 tahun kemerdekaan (1945 – 1997).


Dari tiga fase (searah) tersebut, kita berharap akan mengetahui gambaran
dari kepercayaan utama dari orang Batak Toba itu. Kalau memang benar
bahwa ketiga fase tersebut merupakan peristiwa besar bagi kehidupan
orang Batak Toba, ketiga fase itulah yang dapat kita kategorikan seperti
dalam pepatah, kalau airnya besar, ikannya juga besar, kalau
persoalannya besar, dampaknya juga besar (molo balga aekna, balga do
nang dengkena, molo balga gorana, balga do nang panghorhonna).


Asal mula dari Batak (Toba)

Dapat dikatakan, sekalipun ketiga perkara (fase) tersebut belum jelas
bagi kebanyakan orang Batak, tetapi faktor paling gelap dalam sejarah
orang Batak adalah asal muasal dari orang Batak bermukim di Tanah Batak.
Menurut penelitian dari para sarjana, Batak Toba-lah induk (asal)
persebaran dari semua sub etnik Batak lainnya (Angkola, Mandailing,
Pardembanan, Pakpak, Simalungun, Karo). Hal lain yang kita ketahui
tentang asal muasal dari Batak seperti kampung “Sianjur Mula-Mula” dan
si Raja Batak, hanya diketahui dari mitos dan silsilah. Mitos
mengatakan, Si Raja Batak diciptakan langsung oleh Tuhan melalui “Si
Boru Deak Parujar” di Sianjur Mula-mula.Anaknya dua, Guru Tatea Bulan
dan Raja Isumbaon, itulah moyang dari 2 kelompok besar marga Batak
yaitu, Lontung dan Sumba. Dari kedua orang inilah baru dikenal silsilah
sampai hari ini. Melalui (perhitugan) silsilah itu ditaksir, kira-kira
20 generasi lalu (20 x 25 tahun = 500 tahun) dari kedua Kakek itu sampai
generasi sekarang. Jadi, sekiranya benar silsilah tersebut, kira-kira
tahun 1500-an lah orang Batak bermukim di Sianjur Mula-Mula.


Banyak pendapat para sarjana mengenai asal-usul orang Batak, yang
berbeda dari kisah mitos dan silsilah tersebut. Pendapat terkenal dari
Robert Von Heine Geldern (“Prehistoric Research in the Netherlands Indies”, dikutip dari Science and Scientists in the Netherlands Indies,
1945, hal. 147 ff). Heine-Geldern menyatakan, melalui beberapa
gelombang migrasi, Orang Batak berasal dari Yunan, Cina Selatan dan
Vietnam Utara, + 800 SM. Selama itu sampai tahun 1500, Orang Batak
mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha, kalau tidak langsung dari
India, dari Jawa melalui Minangkabau.


Sekiranyapun betul pendapat para sarjana tersebut, rasanya tidak cukup
juga menjadi bekal guna mengetahui korelasi adat dengan falsafah Batak
Toba. Karena kita tidak ketahui pasti kira-kira bagaimana caranya mereka
sampai ke tanah Batak sekarang, dan karena sebab apa pula mereka hijrah
(eksodus) dari tempat asalnya. Tetapi sekalipun demikian (meragukan),
orang Batak sangat kuat berpegang pada keterangan seperti itu, dan
akibatnya juga tidak ada lagi hasrat untuk mencari informasi baru
tentang asal mula orang Batak itu.


Sebenarnya, informasi terbaru yang dapat membantu kita sudah lama ada,
yaitu tahun 1944, ketika terbit catatan perjalanan dari Tomé Pires yang
disunting Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires : An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515.
Tomé Pires adalah seorang apoteker bangsa Portugis, Kepala Gudang
Rempah-rempah Portugis di Malaka. Kemudian menjadi Duta Besar di Cina.
Ratusan tahun catatan itu terselip di perpustakaan Prancis, kemudian
ditemukan Armando Cortesao tahun 1937. Setelah diterbitkan tahun 1944,
barulah sedikit terang gambaran tentang Nusantara, termasuk Sumatera di
awal abad XVI.


Catatan Tome Pires berawal dari Borneo (Kalimantan), Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara, Banda, Seram, Ambon, Maluku dan pulau-pulau Karimun.
Dikatakan, Pulau Sumatera (Camotora) luas dan makmur. Di awali dari berita Pulau Weh yang dinamainya pulau-pulau Gomez (Gamispola). Dari pulau di ujung Aceh itu, terus dia menelusuri Selat Malaka, mengelilingi Sumatera menuju Pastima (Barat) ke Pansur (Pamchur)
dekat Barus, dan kembali lagi ke Pulau Weh (Gamispola). Selain
Gamispola dan pulau-pulau disekitarnya, Tomé Pires mencatat ada 19
Kerajaan (Reino) dan 11 Negeri atau terra di Pulau Sumatera ketika itu.


Selain Gamispola, dia kisahkan gambaran kerajaan Aceh (Achei) dan Biar Lambry, Pedir, Pirada, Pasai (Pacee), Batak (Bata), Aru, Arcat, Rupat, Siak (Ciac) Kampar (Campar), Tongkal (Tuncall), Indragiri (Amdargery), Capocam, Trimtall (Tongkal?), Jambi, Palembang (Palimbao) Negeri Sekampung (Çaçanpom), Negeri Tulang Bawang (Tulimbavam), Negeri Andalas (Andallos). Negeri Pariaman (Pirjaman), Negeri Tiku (Tiquo), Negeri Panchur, Negeri Barus (Baruez), Negeri Singkel (Chinqele), Negeri Meulaboh (Mancopa), Negeri Daya, Negeri Pirim (Pedir?).
Disampaikan juga rentang daratan dari Siak ke Jambi, dari Pariaman ke
Panchur ditepi Barat Sumatera, semuanya katanya, termasuk Negeri
Minangkabau (Menamcabo), ada tiga rajanya. Ketika raja itu disebut
bermukim di pedalaman.


Pires menyebut bayak emas di Sumatera, ada dua jenis getah kayu yang dapat dimakan, namanya Camphor, ada juga lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak tanah (pitch), belerang, kapas, rotan. Disebut juga banyak padi, daging, ikan (peda). Ada juga bermacam-macam minyak, tuak (wine) termasuk tampoy yang
mirip anggur di Eropa. Bermacam-macam buah, seperti duren, yang enak
sekali kata Pires [Artinya, begitu makmur wilayah itu ketika itu].


Banyak negeri itu sudah memeluk agama Islam (Moor), tinggal sedikit yang bertahan memuja berhala (heathen).
Di tepi pantai menuju Timur Sumatera, dari Selat Malaka sampai ke
Palembang semua raja disana sudah beragama Islam, tetapi setelah lewat
Palembang sampai ke Gamispola masih pemuja berhala, seperti raja-raja di
pedalaman. Pires mengatakan bahwa dia sering mendengar berita tentang
kebiasaan makan manusia di negeri pemuja berhala itu, misalnya dalam hal
seorang tertangkap musuh.


Aceh adalah kerajaan pertama yang diamati Pires disekitar Selat Malaka bagian Sumatera, baru kemudian wilayah Lambry. Agak masuk ke dalam itulah kerajaan Biar, jadi diantara Aceh dan Pedir. Keseluruhan wilayah yang disebut tadi tunduk pada kerajaan Aceh.


Raja Aceh sudah beragama Islam, dan dikenal sebagai raja yang berkuasa
disekitar kawasan itu. Bangsa Portugis menuding, terkadangraja Aceh
masih melakukan perompakan di laut (bajak Laut). Sekali merompak bisa
menggunakan sekitar 30-40 sampan (Panchara). Aceh disebut banyak
menjual daging, beras, bahan pangan lainnya, arak setempat. Ada juga
disebut lada, sekalipun tidak banyak.


Ketika itu, kerajaan Pedir masih bermusuhan dengan Aceh, sangat
menderita katanya Pedir diperlakukan oleh Aceh. Belum lama sebelum saat
itu, Pedir katanya merupakan kerajaan yang disegani, dan sangat kaya
dari hasil perdagangan. Banyak tadinya dari kerajaan yang sudah dikuasai
Aceh, tunduk pada Pedir, seperti Aeilabu, Lide, dan Pirada.
Sempat juga Pedir berkuasa di gerbang Selat Malaka bersaing dengan
Pasai. Kerajaan Pedir masih tetap bertahan sampai tahun 1510, Ibukotanya
(basis) sekitar 3 km ke arah hulu sungai. Sampai pada saat berita itu
dicatat (1513) banyak orang asing dari berbagai bangsa bermukim di
Ibukota Pedir itu. Sekalipun berada dalam masa perang dengan Aceh,
kemegahan dan kekayaan Pedir masih kentara.


Paling tidak katanya, 2 kapal dalam 1 tahun datang dari Cambay dan Benggala ke Pedir, 1 kapal dari Benua Quelim (Negeri
Keling), dan 1 dari Pegu. Apabila musim angin laut tiba, segera
berangkatlah banyak “yung” dan perahu, sekitar 20, berisi beras ke
Trengganu, Kedah, dan Barus. Tetapi setelah Malaka ditaklukkan Portugis
tahun 1511, mulai melemah perdagangan Pedir, terlebih setelah sultannya
meninggal, Muzaffar Shah. Ada dua anak turunannya, tapi masih kecil
karena itu terjadilah perebutan kekuasaan diantara punggawa-punggawa
Pedir. Pedir sudah menggunakan uang. Uang kecil disebut ceitis, uang nilai besar disebut drama, bahan dari emas. Sedangkan uang Portugis (Cruzado) dinilai setara 9 drama.


Sesudah Pedir itulah kerajaan Pasai (dikenal sebagai Camotora atau
Sumatera). Pasai ketika itu sedang naik daun, segera setelah Portugis
menguasai Malaka. Sebelah Utara Pasai, itulah kerajaan Pirada, dan ke
arah Selatan itulah kerajaan Batak (Bata). Kerajaan Pasai, wilayahnya masih terus sampai tepi laut ke arah Barat itulah Lautan Hindia.


Para pedagang dari segala penjuru angin, selain pedangang dari Timur, pada berdatangan ke Pasai, seperti pedangang Rume [Bizantium?],
Turki, Arab, Parsi, Gujarat, Keling, Benggali, Melayu, Jawa dan Siam.
Tetapi kalau pedagang dari Timur, perginya ke Malaka. Karena Saudagar
dari Timur adalah pedagang-pedagang besar katanya. 10 x Pasai belum
dapat mengimbangi Malaka.


Kebanyakan orang Pasai katanya, adalah campuran turunan Benggali/ Keling
dan orang Pasai asli. Ibukota Pasai itulah yang disebut Sumatera,
penduduknya sebanyak 20.000 orang, jadi sudah terbilang besar. Raja
Pasai sudah memeluk Islam 60 tahun sebelum tahun 1513. Raja yang
digantikannya masih pemuja berhala, sedikit demi sedikit digerogoti
saudagar-saudagar beragama Islam. Setelah masuk Islam, muncullah
paradigma baru, siapa saja yang berani dapat membunuh raja, asal
beragama Islam. Kalau berhasil (membunuh) jadi raja dia. Pandangan ini
katanya berasal dari Benggala, ketika itu masih hidup pandangan seperti
itu di Benggala.


Nah, ke arah Selatan Pasailah letak Kerajaan Batak (Bata). Ke
arah Selatan Kerajaan Batak terletak Kerajaan Aru. Raja Batak bernama
Raja Tamiang (Tomyam), nama itu kemungkinan mengambil nama salah satu
sungai di daerah itu bernama Tamiang, seperti pernah diberitakan seorang
Portugis lain, Castanheda. Raja Tamiang katanya menantu dari Raja Aru,
ketika itu.

Seorang Portugis lainnya, Pinto, mengabarkan bahwa Raja Batak itu namanya Raja Timur Raya.


Raja Tamiang atau Raja Timur Raya ini sudah beragama Islam, tetapi
kadang kala masih mau merompak di laut (bajak laut). Salah satu kapal
yang pernah dirompaknya adalah Kapal Flor de la Mar (Bunga Laut).
Inilah salah satu dari 4 kapal armada yang dipimpin Gubernur Jenderal
Portugis, Alfonso de Albuquerque dari Malaka ke Goa. Tepat pada tanggal 1
Desember 1511, kapal tersebut kandas ketika mendekati Pasai. Banyak
meninggal, terluka, raib semua muatan kapal itu, dan banyak harta benda
dirampas, tetapi kalau Albuquerque melarikan diri.


Negeri Batak mengekspor beras, buah, arak (tuak), madu, lilin, kapur barus (kamper), terutama minyak tanah (pitch)
dan rotan. Tentu kita tidak heran kalau Raja Timur Raya, Raja Batak itu
kaya raya. Raja ini pemberani, dia berani melawan kerajaan Pasai yang
besar, termasuk melawan mertuanya sendiri, Kerajaan Aru. Tetapi, perang
yang paling sering terjadi adalah melawan penghuni pedalaman.


Kira-kira demikianlah satu informasi yang sangat berharga mengenai asal mula orang Batak.

Apa kaitan (makna) dari keterangan ini dengan permasalahan yang tadi disebut di atas?


Melangkah mengikuti hati nuraninya untuk menggapai kemajuan (situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak).

Kalau kita lihat peta, Kerajaan Batak ini dapat dikatakan terletak di
sepanjang Langkat – Deli – Siak di pantai timur Sumatera, terus ke Alas –
Gayo – Simalungun di bangian tengah, dan bisa jadi sampai ke Singkil –
Barus di pantai barat Sumatera. Kalau demikian, siapa yang bermukim di
sekitar Danau Toba? Kalau sekiranya ada sedikit kebenaran dari silsilah
orang Batak Toba, berarti sekitar 1500-anlah mereka mulai bermukim
disitu bersamaan dengan ketika kerajaan Batak masih tegak dipimpin Raja
Tomyam atau Raja Timur Raya.


Merujuk pada keterangan di atas, jadi muncul pertanyaan besar (baru),
siapa yang berdiam di dekat Danau Toba itu, dan kenapa mereka tetap
menamai diri Orang Batak sampai sekarang, padahal kerajaan Batak tadi
sudah tidak eksis? Apakah mungkin mereka termasuk daerah taklukan Raja
Tomyam, atau mungkin dibawah kendali para Panglima yang tidak bersedia
menganut Islam? Atau mungkin sudah lebih dulu mereka bermukim di
sekeliling Danau Toba baru kemudian menjadi Islam kerajaan Batak, dan
karena itu mereka memutus hubungan dengan Kerajaan Batak tersebut?


Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah semestinya lebih dulu kita jawab,
baru kita dapat merangkak menelusuri kebenaran itu ke arah hulunya.
Terus terang harus diakui bahwa belum cukup keterangan dari sejarah guna
menjawab pertanyaan-pertanyan seperti tersebut di atas. Namun demikian,
dengan keterangan yang ada ini, menjelaskan kepada kita beberapa
persoalan.


Pertama, mungkin sudah tidak betul pemahaman kita selama ini bahwa Toba
merupakan induk/asal persebaran dari orang Batak seluruhnya. Yang lebih
benar barangkali, tidak sekaligus (atau bergelombang-gelombang)
rombongan orang Batak eksodus dari dekat Tamiang ketika mereka hendak
mencari tempat permukiman baru di sekitar Danau Toba, jadi dinamai orang
Toba, demikian juga Simalungun, Pakpak, Karo, Silindung, Pardembanan,
Sipirok, Angkola, Mandailing, dan lain sebagainya. Barangkali sesama
mereka masih bergaul dan saling berkunjung, kalau memungkinkan, dan
melalui (relasi) itu menjadi terpeliharalah adat dan identitas (marga)
kebatakan dahulu yang mereka bawa dari tanah asal. Tetapi, lama kelamaan
karena sulitnya komunikasi, mungkin lebih mudah bagi beberapa kelompok
menjalin hubungan dengan orang Batak yang sudah Islam dipesisir dan juga
dengan orang asing. Lama kelamaan, menjadi semakin berbeda pula mungkin
adat istiadat dan bahasa mereka.


Kedua, kalau disimak dari mitos dan silsilah itu, langsung dari Tuhan
diturunkan Si Raja Batak melalui Si Boru Deak Parujar. Ini berarti,
mereka tidak lagi mengakui bahwa mereka berasal dari daerah kekuasaan
Raja Timur Raya. Putus sudah pertalian (hubungan) mereka, jejak
kakinyapun tidak akan pernah lagi diinjak, asap perapiannyapun tidak
lagi dilirik (bogas ni patna so ra degeon, timus ni apina na so ra
idaon). Kalau demikian, mungkin orang-orang yang keras hati Batak yang
baru ini, orang yang berani merintis jalan baru. Mereka adalah orang
yang meretas jalannya sendiri, mencari dan menggapai perikehidupan yang
lebih baik. Bukan tipe yang pasrah pada keadaan, yang mudah menyesuaikan
diri. Mereka adalah orang-orang perintis kehidupan baru, dan pionir
yang cerdas dan bijak menghadapi segala tantangan.


Agar tampak lebih jelas sifat yang kedua itu, kita akan coba
membandingkan Batak “baru” ini dengan orang Australia si putih mata (white Australians). Kita bandingkan, karena agak banyak kemiripan sejarah diantara keduanya.


Keduanya sama-sama orang yang hijrah (Batak menghijrahkan diri,
Australia Putih diasingkan). Sama-sama memutuskan hubungan mereka dari
tanah asalnya. Batak dipisahkan gunung dan lembah, Australia Putih
dipisahkan laut, gunung dan lembah.


Orang Australia (putih) pertama kali hadir di Benua Australia pada
tangal 26 Januari 1788. Pada hari itu, diturunkan mereka dipinggir
pantai di Teluk Botany (New South Wales, Australia), 548 laki-laki dan
188 perempuan. Merekalah orang Austalia putih pertama, semua mereka
adalah orang buangan dari Inggris/Irlandia selaku orang hukuman
(convicts). Mereka jauh berbeda dari imigran Eropa pertama ke
Amerika,kebanyakan berperilaku sopan dan penganut agama (pilgrims).


Latar belakang orang Australia putih pertama itu berpengaruh terhadap
karakter mereka sampai sekarang. Seperti ditulis seorang Australia (Rob
Goodfellow, Australia in Ten Easy Steps), sangat berbeda sekali
orang Australia dengan orang lain di dunia ini. Kalau kebanyakan orang
merayakan kemenangan, kejayaan, atau kegagahan seorang panglima, orang
Australia sebaliknya, merayakan peristiwa kekalahan. Pada setiap tanggal
26 Januari itu, minum-minum arak (grog) orang Australia sambil
menyebut-nyebut nama Ned Kelly, seorang Australia pertama dari Irlandia,
seorang berkumis dan setengah gila, berpakaian kaleng karatan yang
memerangi (menembaki) musuhnya untuk mendirikan Republik Victoria. Pada
tanggal 27 April, orang Australia bermabuk-mabukan kemudian tidur
mendengkur sampai siang hari untuk merayakan kekalahan serdadu mereka
pada peperangan Gallipoli.


Pendek kata, karakter orang Australia, “Aussie Battler”, adalah
bahwa tekad kerja keras, itulah yang lebih berharga dibandingkan
keberhasilan suatu pekerjaan. Mencoba jauh lebih berharga daripada
berhasil. “Triying” is afforded more support and symphaty than “succeeding”.
Orang yang “gagal” dan menjadi “lemah” karena terus menerus berjuang
melawan yang kuat, itulah orang terhormat dan disegani, bukan raja, atau
pemenang, atau si kaya. To struggle establishes a “Battler’s” Credentials. To Fail heroically proves it.


Ketiga, kalaulah betul orang Batak (Toba) yang berdiam di sekitar Danau
Toba itu dahulu, adalah orang-orang yang meninggalkan Kerajaan Batak di
bawah kekuasaan Raja Tamiang (Tomyam), semata karena meneruskan dan
melestarikan “kebatakan” mereka, tentu semuanya itu akan tercermin dari
watak, hukum, dan adat kebiasaan mereka. Kalau begitu, kira-kira
bagaimana gerangan watak atau “partondion” mereka itu?


PARHATIAN SI BOLA TIMBANG, PARNINGGALA SI BOLA TALI

(Adil, Tigor (tulus, hormat), dan Belas Kasih (elek))

Seperti telah disinggung di atas, sudah cukup banyak penelitian para
sarjana mengenai adat, hukum dan partondion Orang Batak (Toba). Tetapi
sekalipun demikian, belum ada dari antara mereka yang menguji
pendapatnya itu dengan asal mula berdiamnya Orang Batak di sekitar Danau
Toba. Sekarang, setelah kita beranikan melacak gambaran dari daerah
asal itu, rasanya tidak lagi sulit menghubungkannya dengan adat, hukum,
dan partondion dari Orang Batak (Toba).


Kalau ditilik dari nama “Batak” yang mereka pertahankan, menjadi gampang
ditelusuri bahwasanya mereka tetap memelihara adat, hukum, dan
keyakinan yang diciptakan oleh moyang mereka ketika kerajaan Tomyam
belum menganut Islam. Seperti yang sudah dibahas oleh cerdik-cendekia,
Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Perapian), Tondi – Sahala (Roh-Pancaran
Roh), dan Tuhan Tri Tunggal (Debata na Tolu), itulah kira-kira rangkuman
dari adat, hukum dan kepercayaan atau partondion mereka.


Kita coba sejenak merenungkan/meresapi perasaan orang-orang yang
melangkah mengikuti nalurinya merengkuh peri kehidupan yang lebih baik,
yang meninggalkan kejayaan dari rajanya sendiri, seperti yang dialami
Orang Batak. Tentu mereka tidak lagi bersandar pada kekuasaan raja yang
mereka tinggalkan itu. Sekiranya ada diantara mereka berniat menjadi
raja, tentu akan mendapat tentangan, dari sesama mereka yang baru hijrah
(eksodus), karena mereka tentunya tidak akan mau lagi menderita seperti
halnya di bawah kekuasaan Tomyam. Tetapi bagaimana mereka (mengatur)
hidup kalau tidak memiliki raja? Jawabnya, kalau tidak ada raja, mesti
ada norma yang mengatur agar dapat hidup tertib layaknya sebuah
komunitas (rombongan), satu masyarakat, satu bangsa. Bagaimana mungkin
menegakkan suatu hukum sementara tidak ada seorang raja yang berwibawa,
dihormati, dan berkuasa?


Pertanyaan yang berat ini dijawab Orang Batak yang baru itu demikian.
Jawabnya , harus ada norma (kaidah) yang bagus yang tidak berubah-ubah,
seperti prisip moral bersama. Hal itu tampak jelas dari doa-doa
ahli pemujaan (Parbaringin), yang juga berfungsi sebagai norma (hukum).
Dikatakan : Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali. Pamuro
so marumbalang, parmahan so marbatahi. (Perilaku adil, tulus, tidak
memihak, akan dipatuhi sekalipun tidak menggunakan senjata).


Makna dari rapalan doa sekaligus sebagai norma ini, hendaknya setiap
Orang Batak bersikap adil dan imparsial (songon hatian na so ra teleng,
na satimbang). Hatinya harus lurus layaknya seperti mata bajak membelah
tali. Harus bisa terjamin padi tidak dimakan burung sekalipun tidak
dijaga, dan ternak aman di ladang sekalipun tanpa alat lecut. Artinya,
hidup berjalan aman dan tertib bukan karena kuasa kerajaan (umbalang,
botahi), melainkan semata-mata karena ada norma (hukum). Jadi Roh
(sahala adalah kekuatan yang tampak dari Roh) kehidupan Batak adalah Adil, Jujur, dan Belas Kasih.
Dari partondion seperti itulah muncul sahala, ialah kekuatan dengan
kuasa untuk mengarungi kehidupan yang lebih baik di setiap bidang.


Norma ini, tondi ini, tampak sangat jelas pada falsafah Dalihan Na Tolu
(Tiga Tungku Perapian). Adil terhadap dongan tubu (kerabat semarga),
tigor (jujur dan hormat) pada hula-hula (kerabat marga istri/ibu), dan
welas kasih terhadap gelleng (kerabat yang mengawini anak perempuan).
Tetapi tidak ada lagi seseorang yang menjadi raja, yang berkuasa,
berwibawa terus menerus, segenap orang menjadi memiliki kuasa dan
wibawa. Agar bisa berlangsung situasi seperti itu, perbuatanlah
yang menjadi tumpuan dari kewibawaan dan kejumawaan itu, bukan lagi
takdir, bukan pula nama besar (gelar, harta, jabatan, pangkat). Agar
(kondisi) itu tampak dalam kehidupan sehari-hari, lahirlah aturan adat
Dalihan Na Tolu, yang membenarkan silih ganti posisi pada segenap Orang
Batak selaku dongan tubu, hula-hula, atau gelleng, supaya silih berganti
pula kebagian sahala.


Barangkali itu sebabnya lahir ungkapan, sisoli-soli do adat, siadap ari
gogo ( memberi dan menerima adat silih berganti, membantu dan dibantu
adalah keseharian). Jadi prinsip Dalihan Natolu adalah silih berganti,
bukan “kau beri dulu baru saya kasi” (quid pro quo) seperti sering dipahami sekarang ini.


Bukankah demikian indah dan dalamnya partondion, hukum dan adat Batak
itu? Kalau terasa sulit dicerna indah dan dalamnya hukum dan adat Batak
seperti itu, mari kita coba sejenak kita bandingkan dengan falsafah
Jawa. Dikatakan dalam pepatah jawa, ngluruk tanpa bala, ngalahke tanpa ngasorake (berperang
tanpa pasukan, mengalahkan tanpa mengejek). Kalau sekiranya didengar
Orang Batak itu dahulu, mungkin mereka akan katakan “ah, lebih baik
jangan menyerang, kendati tanpa tentara, lebih baik jangan mengalahkan
kendati tanpa menghina.


Begitu sucinya partondion itu hingga susah melaksanakannya di kehidupan
sehari-hari. Tetapi sesungguhnya, itulah “partondion” yang hidup dalam
perilaku Sisingamangaraja. Wibawa kerajaannya tegak kendati tidak ada
pasukan, tidak ada prajurit, dan tidak memungut pajak. Suatu hari, di
hutan Dairi, ketika istirahat dari pengejaran Belanda, Sisingamangaraja
XII, berulang-ulang mengatakan : bukan karena hutang moyang saya, hutang
Bapak saya, atau hutang saya sendiri, sebab saya mengalami penderitaan
ini, semata karena tondi dan sahala dari Mula Jadi Na Bolon saja. (Baca
buku tulisan Prof. Dr. W.B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, 1983).


Datang kekuasaan asing : mali tondi? (hilang nyali, ciut)

Partondion seperti dijelaskan di atas, semakin lama semakin berubah,
terutama setelah masuk kekuasaan asing. Dari tahun 1500-an sampai
1820-an, sebelum masuk kekuasaan Eropa menyentuh Orang Batak, dapat
dikatakan tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan mereka.


Sekalipun demikian diketahui ada berita dari Zendeling Inggris, yaitu R.
Burton dan N. Ward, tahun 1824, yang sampai ke lembah Silindung. Kabar
itu tercatat di “Report of a Journey into The Batak Country in the Interior of Sumatera in the year of 1824” dalam buku, Transaction of the Royal Asiatic Society,
I, 1827. Berita itu menyatakan : banyak penghuni lembah itu, dan
kelihatan hidupnya berkecukupan. Tidak kurang dari 5000 orang menyambut
mereka, dan semua berperangai lembut dan tertib (with kindness and respect).


Dapat diduga dari cerita itu, bisa jadi sudah makmur kehidupan Orang
Batak di sekitar Danau Toba itu, kendati tidak ada seorang raja yang
berwibawa dan berkuasa melindungi dan memerintah (nearly stateless)
mereka. Kenyataan ini diterima para sarjana peneliti Batak, seperti
dikatakan oleh Lance Castle dalam disertasinya, “The Political Life of a
Sumateran Residency : Tapanuli, 1915 – 1940”. Disertasi tersebut
ditulis tahun 1972, meneliti dampak penjajahan terhadap kehidupan orang
Batak.


Sekalipun demikian, hidup yang makmur tanpa satu kerajaan yang
melindungi dan memerintah, rupa-rupanya sempat menimbulkan arogansi dan
tinggi hati bagi Orang Batak. Tiap Orang Batak menganggap dirinya raja,
sebab itu mereka tidak lagi mengenal ragam kekuasaan di dunia ini.
Mereka pikir langit tanah Batak adalah langit yang tertinggi, karena
tidak ada pembanding, tidak seperti pengalaman orang Aceh, Melayu atau
Minangkabau.


Segala “partondion” yang bagus tadi mungkin menjadi rusak tidak lama
setelah kedatangan R. Burton dan N. Ward. Berawal dari perang Padri
mengusir Mandailing, kira-kira 1824. Raja Gadombang dari Mandailing
Godang meminta tolong kepada Belanda melawan Padri. Terjadilah perang
selama tahun 1830-an. Belanda mengalahkan Padri di Padang Bolak (Tuanku
Tambuse) tahun 1838. Sejak itu menjadi terpacaklah kekuasaan Belanda di
Tanah Batak (1843).


Kita duga, menjadi hilang kepercayaan diri (mali tondi) orang Batak,
menghadapi keadaan masa itu. Yang sudah merasa raja punya langit
tertinggi dalam waktu lama, menjadi pecundang mereka. Tetapi, Orang
Batak di Selatan tampak tidak bisa menerima status pecundang (looser).
Kalau demikian, apa akal untuk tidak menjadi pecundang? Jawabnya
mungkin –hilang kepercayaan diri- itulah yang menjadi masalah besar
pertama yang menerkam (kekuatan) tondi orang Batak. Mereka mengatakan
mungkin, lebih baiklah berbaur dengan para pemenang. Karena itu, mereka
menjadi bersama-sama memerangi kerabat mereka Orang Batak yang ada di
Utara, sampai Bakkara, bahkan sampai membunuh Sisingamangaraja X.


Bukan hanya itu, banyak Orang Batak dari Selatan itu menjadi malu
sebagai Orang Batak, terlebih yang berasal dari Mandailing. Mereka
menjadi mengaku turunan Iskandar Zulkarnain, bukan lagi si Raja Batak.
Adat pun dicampakkan, dan hal itu didukung Belanda. Sampai menjelang
kemerdekaan Indonesia, sering terjadi konflik antara Batak dari Angkola –
Sipirok – Padang Bolak – melawan Mandailing, seperti peristiwa Sungai
Mati, Medan tahun 1922. Orang Mandailing melarang Orang Batak Angkola –
Sipirok-Pandang Bolak mengubur mayat kerabatnya di Sungai Mati, karena
sudah lain Mandailing dari mereka. Bukan lagi Batak katanya yang berasal
dari Mandailing.


Di Tanah Batak Utara pun, masuklah Zending Barmen, Jerman, kira-kira
1864, yang dibawa oleh Nommensen. Di desa Dame, di lembah Silindung,
beberapa Orang Batak menjadi Kristen, tetapi katanya masih banyak
ditemui sisa-sisa perbudakan. Nommensen mulai mengajari mereka tentang
kesehatan, seperti menjerang air (karena Orang Batak biasanya meminum
air tanpa rebusan), mencuci pakaian, membuat WC. Karena itu, menjadi
sehat-sehat jemaatnya Nomensen, ketika bayak orang mati di Silindung
sewaktu terjadi muntaber akibat peristiwa bumi hangus yang dilakukan
Padri.


Melihat itu, kagum semua orang Batak di Silindung, mereka percaya Tuhan
yang teratas, Tuhan yang sesungguhnyalah Tuhan yang disembah Nomensen.
Menjadi berlomba-lomba raja-raja di Silindung memeluk Kristen, seperti
Raja Jakobus Lumban Tobing dan Raja Pontas Lumban Tobing. Dan semakin
percaya mereka bahwa para Zendeling itu adalah pemegang sahala (wibawa)
kerajaan.


Demikian besar keyakinan orang Batak seperti itu, itu sebabnya mereka
meninggalkan keyakinan mereka yang asli. Fakta ini dibenarkan oleh
seorang Putra Batak (Toba) sendiri, seperti Andar Lumban Tobing (Das Ambt in der Batak – Kirche).
Dia katakan, wibawa atau kharisma para Zendeling itu semakin besar
ketika Arriens, Gubernur Sumatera menginap di rumah Nommensen, tahun
1868. Semakin bertambah orang masuk Kristen, tetapi Nommensen-pun
rupanya agak ragu juga soal kekukuhan iman Kristen mereka, karena itu
dilaranglah mereka melakukan upacara-upacara (Sakramen) Batak, seperti
hari pekan nan empat, membunyikan gendang, pesta bius, dan lain
sebagainya.


Yang kita sebut belakangan ini adalah Sakramen yang dikenal Orang Batak.
Melalui media itulah sampai pesan partondian dan pemahaman para
pendahulu kepada turunannya. Setelah dilarang Orang Batak Kristen
menjalankan itu, begitu pula Batak Islam di Selatan, tentu semakin
melemahlah partondian mereka kalau dibandingkan dengan partondion mereka
ketika eksodus dari kerajaan Batak yang dipimpin Raja Tomyam ke sekitar
Danau Toba tahun 1500-an.


Pendek kata, di selatan dan di utara, Orang Batak menjadi gamang
menghadapi suasana baru, bahkan menjadi hilang kepercayaannya atas
warisan yang telah dicipta moyang terdahulu. Tidak berlebihan kalau
dikatakan, Orang Batak menjadi hilang nyali (mali tondi).


Semakin pudarlah partondian yang bagus itu, ketika semakin banyak
kekuatan dunia diperkenalkan Belanda kepada Orang Batak. Dari tahun
1890, dibentuk Belandalah afdeeling (Kabupaten) yang baru di
Tanah Batak Utara. Akan dibentuk pula perangkat (pemerintahan) terendah
dalam Kerajaan Belanda, tetapi kekuasaan tertinggi yang dikenal Orang
Batak, sejak mereka eksodus dari Raja Tomyam. Waktu itu, hanya perintis
(pendiri) kampunglah kekuasaan tertinggi yang dikenal Orang Batak di
sekitar Danau Toba. Jadi, harus perintis kampung itulah mestinya menjadi
raja yang baru di bawah Belanda kalau mengikuti pemahaman kekuasaan
menurut Batak. Tetapi, begitu banyak raja kampung katanya, 8000
banyaknya, seperti disampaikan Lance Castles menurut catatan Residen
Tapanuli, V.E. Korn (1938).


Karena demikian banyaknya, tentu Belanda kesulitan untuk mengendalikan
keseluruhannya. Itu sebabnya, Belanda terpaksa mengelompokkan beberapa
dusun (huta) menjadi satu hundulan (kampung), dan para raja huta
tersebut memilih salah satu dari mereka menjadi Raja Panutan (Raja
Ihutan). Dan tidak lama kemudian, kelompok dusun yang bernama hundulan
itu diubah menjadi hampung (kampung) dan negeri. Penguasanya dinamai hapala hampung atau hapala nagari (Kepala Kampung atau Kepala Negeri).


Menyikapi kenyataan seperti itu, para raja huta menjadi saling
berperang, karena semuanya nafsu menjadi raja. Untuk meredam keributan
diantara raja-raja yang berebut status raja panutan itu, Belanda
merekayasa, dikukuhkanlah jadi raja pandua mereka (para raja
huta) yang bersuara lantang dan lebih gigih melakukan perlawanan.
Sekalipun demikian, tentu saja tidak ada lagi kedamaian di Tanah Batak,
karena perseteruan para raja huta itu berlanjut kepada turunannya.
Karena itu semakin melemahlah semangat (partondion) dari Dalihan Na
Tolu.


Belanda pusing menghadapi keadaan seperti itu. Karena itu, kemudian
Belanda membentuk perangkat (instansi) yang lebih kecil, seperti hapala rodi
(kepala rodi). Berebut lagi orang Batak meminta jadi kepala rodi.
Pengurus gerejapun tidak mau ketinggalan. Mereka juga meminta jabatan
sintua (penatua) menjadi jabatan pemerintahan. Belanda mengabulkan.


Karena kebiasaan menghadapi konflik seperti itu, Orang Batak menjadi
pintar mengajukan keberatan (protes) seperti mudahnya menarik nafas.
Bertimbun-timbun disebut pengajuan surat rekkes (rekwest, Belanda) ,
sehingga banyaknya timbunan rekkes (keberatan) itu sampai setinggi
gunung. Menurut catatan Korn tahun 1938, seperti dikutip Castles, ketika
akan mengukuhkan kepala negeri Pohan Hasundutan masuklah surat rekkes
sebanyak 450 halaman dari dewan adat, dan beberapa meter tarombo
(silsilah) guna mempertahankan calon mereka. Di Panggabean –Sitompul,
harus diberesi 71 calon kepala negeri, 57 rekkes permohonan, 10 meter
silsilah, dan 128 halaman catatan, bertimbun di Kantor Pemerintah
(Gubernement) di Tarutung. Di Toba pada tahun 1917, wilayah yang paling
ribut – menurut kontrolir Scheffer, setidaknya ada 60 rekkes satu bulan,
dan masih ada 745 perkara yang tidak putus. Setiap hari jumat,
kontrolir memberi waktu katanya untuk mendengar pengaduan, tetapi hanya
sedikit yang dapat ditangani.


Kita tidak heran kalau Belanda menyatakan, penyakit terbesar pada Orang Batak adalah penyakit getol berperkara (perkaraziekte), gila hormat (eigenwaan), dan juga haus kekuasaan (haradjaonzucht). Tetapi hal yang paling berat, ialah bahwa semuanya hal itu bisa terjadi (biang keladinya) karena partondion Orang Batak yang berlandaskan sahala, dari situlah muncul hasrat untuk meraih Sahala Kekuasaan, Sahala Kehormatan, Sahala Kekayaan. Menjadi dosa sahala itu bagi Orang Batak menurut pemahaman Belanda dan para sarjana Barat kelak.


Jadi, kira-kira 100 tahun penjajahan, telah berhasil merusak seluruh nilai-nilai luhur dalam partondion
Orang Batak. Dan pernah Sarjana asing, seperti Lance Castles,
berlebihan menyimpulkan bahwa semua perbuatan baik yang dilakukan Orang
Batak tidak benar itu bersumber dari budi yang luhur (tondi na pir),
melainkan karena haus akan sahala kehormatan dan sahala kekuasaan.
Itulah katanya sebab musabab segala perkara pada Orang Batak sampai hari
ini. Seperti Vergouwen menyatakan, dalam perkara paling remehpun, tetap
saja Orang Batak berebut, itulah sebab ada julukan “gulut di imput”
(rebutan bulu halus).


Tetapi kalau kita dengan tulus dan konsisten menelusuri keluhuran
nilai-nilai itu ke akarnya (sumbernya), tampaklah bahwa tidak demikian
halnya Orang Batak ketika mereka menjejakkan kakinya pada awalnya di
sekitar Danau toba. Keadaan sebenarnya, ialah siapapun yang berani
seperti halnya moyang kita dahulu, hijrah ke sekitar Danau Toba,
meninggalkan kekuasaan dan kedigdayaan dari bangsanya di sebelah selatan
dari Aek Sitamiang sana, tentu mestinya mereka adalah orang-orang yang
cerdas dan kreatif mengatasi segala persoalannya.


Meretas Jalan menuju Abab XXI (Manotas Dalan Tu Abad XXI)

Jadi kita ulangi menggaris bawahi : pada awalnya, boleh dikatakan,
manusia yang berani menuruti nuraninya nenek moyang kita dahulu, yang
meninggalkan kejayaan dari Kerajaan Batak di sisi Selat Malaka, yang
mengawali kehidupan di sekitar Danau Toba. Mereka memiliki karakter yang
selalu berusaha meningkatkan taraf hidupnya, bukan tipe yang
kompromistis terhadap tantangan, bukan pula tipe yang mudah melebur pada
situasi tidak menentu (majemur). Manusia-manusia yang suka mencari
jalan baru mereka, perintis, yang cerdas dan kreatif menghadapi
tantangan.

Tetapi dalam perjalanan sejarah, raiblah segala sifat-sifat –mulia-
tadi, dan lupalah keturunan Batak itu akan partondion (nilai luhur)
kakek moyangnya, tetapi sekarang mereka tampil seperti kehilangan
kepercayaan diri. Mereka bertengkar soal sepele seperti dalam hal
pelaksanaan adat itu, seperti sahala kekuasaan, sahala kehormatan, dan
sahala kekayaan (jabatan, pangkat, nama, harta).


Apa arti semua itu? Apakah salah orang meraih jabatan, pangkat, nama,
harta? Tidak salah, tetapi menjadi jungkir balik segala keluruhan nilai
itu pada partondion orang Batak (Toba) setelah kedatangan kekuasaan
asing. Setelah penjajahan itu, buat orang Batak memeluk agama Kristen
atau Islam seringnya bukan karena keyakinan atau mencari kepercayaan
baru, tetapi karena ingin meraih jabatan, pangkat, nama atau harta.
Kalau Orang Batak menempuh pendidikan, seringnya bukan karena haus akan
pengetahuan, tetapi sekedar ingin meraih jabatan, pangkat, nama atau
harta. Menjadi Pegawai Negeri Orang Batak, seringnya bukan karena ingin
mengabdi dengan baik, tetapi karena ingin meraih jabatan, pangkat, nama,
harta.


Gambaran orang Batak sekarang samalah dengan seorang pemain tenis yang
haus gelar juara, maka ketika bertanding matanya selalu melirik scoreboard.
Bagaimana mau bisa menang petenis seperti itu, sekalipun kehausan akan
gelar juara? Akan menjadi pecundang orang-orang seperti itu untuk
selamanya.


Kalau demikian, bagaimana dengan kita, kemana kita melangkah, utamanya keturunan kita, turunan Orang Batak ke depan.

Kalau direnungkan keluhuran partondion seperti telah dijelaskan tadi,
hanya satu jawabannya. Karena kita sudah pernah jadi perintis jalan,
kita akan selamanya menjadi perintis jalan ke masa depan. Ada 3 sifat
yang harus selalu dilestarikan orang perintis jalan agar berhasil.


Pertama, kembangkan bakatmu (topot be gumena). Gume artinya
talenta. Jadi kembangkan bakat pribadi menjadi kemampuan yang handal.
Jangan memilih jalan merah, tetapi niatnya mau meraih hijau, seperti
menjadi kepala kampung hanya karena ingin berkuasa, seperti bersekolah
tujuannya untuk kaya, atau menjadi ulama atau pendeta agar dihormati.
Kasarnya, kalau bakatmu bandit, jadilah bandit yang benar.


Kedua, jangan takut menerima orang pendatang, sekalipun miskin, sekalipun berat (unang mabiar manjalo naro, agia pe hansit, agia pe borat). Jangan takut, artinya harus ada perhitungan (calculated risk).
Tidak ada persoalan yang tidak selesai, tetapi ya kita harus kerja
keras untuk memahami persoalan itu dan sekaligus mencari solusinya.


Ketiga, marbahul-bahul na bolon alias berjiwa terbuka, berbelas kasih.
Hanya mereka yang terbukalah yang mampu kreatif, itulah tabiat pokok
dari perintis jalan (pionir). Beragamapun harus terbuka, bergaul
terbuka, berpikirpun terbuka.


Bagaimana caranya menanam dan menumbuhkan sifat-sifat itu kepada turunan kita?

Pertama, kita merendahkan diri merenungkan kembali seluruhnya
“partondion” (nilai-nilai luhur) warisan nenek moyang kita. Artinya,
kita harus kerja keras mengungkap sejarahnya Batak.

Kedua, pilar dari partondionta, itulah empat serangkai : Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali. Pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi.
Pilar dari hukum dan adat kita ialah Dalihan Na Tolu. Empat Serangkai
dan Dalihan Na Tolu itulah yang tidak bisa bergeser dan tidak bisa
berubah, kalau mau berkehidupan yang baik Orang Batak, karena itulah
yang menjadi dasar penghidupan kita ratusan tahun lampau. Lainnya itu,
tidak lebih dari pelengkap, yang bisa berubah dan bisa dicampakkan.
Karena itu, rajin, cerdas, dan kreatiflah kita mengharmonikan semua itu
pada masa sekarang dan untuk masa mendatang.


Ketiga, seluruh pelosok dunia ini sudah menjadi lapangan kita berkiprah
mencari pencerahan, meningkatkan taraf hidup. Tinggalkanlah bekas luka
dan borok yang diakibatkan oleh penjajahan. Kita menyongsong semua hal
yang patut (kita miliki) untuk kehidupan mendatang, seperti pemikiran,
pengetahuan, kreatifitas, dan teknologi. Kita harus menjadi yang tebaik
di tiap-tiap bidang yang kita pilih dalam hidup kita, tidak lagi perlu
menjadi nomor satu (nomor wahid), melainkan terbaik pada bidang yang
kita pilih. Kasarnya, saya ulangi sekali lagi, kalaupun jadi bandit,
jadi bandit yang terbaiklah, yang cerdas dan kreatif.


Sampai disini untuk kali ini. Horas tondi madingin, pir tondi matogu.