Sejumlah saat mementaskan opera "Raja Sisingamangaraja XII" |
Jakarta | Sikap heroik dan selalu mengatakan tidak pada Bottar Matta, menjadikannya tokoh paling legendaris seantero negeri
Nama Sisingamangaraja sangat akrab ditelinga. Keistimewaan Sisingamangaraja XII yang tak pernah mau takluk kepada penjajah Belanda, dipentaskan dalam opera di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (7/7), malam.
Disutradarai Sultan Saragih, melibatkan murid-murid dari SMA Swasta RK Bintang Timur Pematangsiantar, Pematangsiantar, Sumatra Utara. Opera ini di gelar untuk mengenang dan memahami nilai-nilai patriotisme dan kepahlawanan Raja Sisingamangaraja XII.
Jika ada satu pejuang yang menyulitkan Belanda semasa penjajahan di Indonesia, salah satunya ialah Raja Sisingamangaraja XII. Sikap heroik dan selalu mengatakan tidak pada Bottar Matta (julukan untuk Belanda), membuatnya menjadi tokoh paling legendaris bagi kaum Batak, bahkan seantero negeri.
Hal paling menonjol dari Sang Pahlawan ialah sikap konsistensinya untuk terus melawan. Hal ini tetap dipegang teguh Sisingamangaraja meskipun nyawa taruhannya. Bahkan, sampai pada suatu kesimpulan dalam diri dan firasat jiwanya 'Tanah Batak' tidak lagi bisa dipertahankan.
Meski opera ini ditampilkan dalam bahasa Batak, semua penonton bisa memahami, karena panitia membagikan sinopsis opera ini sebelum memasuki ruangan. Dan, dari tata lighting, musik serta kostum sangat memukau. Ini membuat semua penonton antusias mengikuti jalannya cerita dari awal sampai selesai.
Opera Sisingamangaraja XII ini dipentaskan dalam empat setting tempat (local setting) dan dalam empat babak, serta dibawakan dalam bahasa Batak.
Untuk setting lokal pertama panggung bernuansa Bakkara. Di babak pertama ini bercerita mengenai laporan peperangan yang semakin sengit di Meat, Balige dan yang semakin dekat ke Bakkara. Dalam alurnya, diperlihatkan keputusan Sisingamangaraja harus keluar dari Bakkara dan memulai pengungsian sambil perang gerilya. Keputusan ini diawali dengan upacara godang sabangunan, memohon kekuatan dari Ompu Mulajadi na Bolon melalui tortor Paniaran, patortohan Tungkot Tunggal Panaluan dan Tortor Siboru Lopian.
Untuk setting lokal berlokasi di hutan Balige. Pada babak ini, diceritakan pengkhianat yang memihak kepada penjajah Belanda, Ompu Somahap Doli. Ia dikejar-kejar para para pejuang yang setia kepada Sisingamangaraja, Ompu Jumollang dan Sarbut Mataniari. Di sini ditampilkan bagaimana Ompu Somahap Doli dibunuh oleh pejuang yang setia kepada Sisingamangaraja di hadapan isterinya di hutan Balige.
Setting lokal ketiga di kota Balige. Di sini diperlihatkan intimidasi penjajah Belanda dan para pengkhianat yang memihak Belanda kepada Ompu Jumollang dan Sarbut Mataniari beserta kawan-kawannya.
Setting lokal keempat berlokasi di Sionomhudon, daerah Dairi. Dalam babak ini, Sisingamangaraja mengungsi sampai ke daerah Sidikalang-Dairi. Di sini terdapat adegan intimidasi pasukan Belanda terhadap masyarakat setempat, yang berbahasa simsim. Masyarakat setempat melakukan pembelaan terhadap pasukan Sisingamangaraja.
Pada adegan terakhir dan paling heroik, dilukiskan saat-saat terakhir perjuangan Sisingamangaraja sampai dia terbunuh bersama anak dan puterinya Sutan Nagari, Patuan Anggi dan Siboru Lopian di hutan Aek Simonggo di Sionomhudon, Parlilitan.
Dalam teater Raja Sisingamangaraja XII ini terdapat pesan yang mendalam terkait kondisi Indonesia sekarang ini, bahwa perjuangan belum berakhir dan barangkali tidak akan pernah berakhir.
Pementasan tersebut mengolaborasikan antara seni peran, seni musik dan seni tari. Dimana tari Tortor dan Gordang Sambilan (sempat akan di kalim oleh Malaysia) turut ditampilkan sehingga diharapkan pementasan Opera Batak Raja Sisingamangaraja dapat menjadi salah satu upaya melestarikan aset bangsa terutama budaya Batak.